Random

Menjadi motherpreneur seringkali terdengar keren, bisa tetap tinggal di rumah bersama anak-anak namun tetap bisa menghasilkan rupiah untuk kebutuhan pribadi maupun sarana aktualisasi diri.

Nyatanya, segala profesi punya tantangan tersendiri. Seorang motherpreneur adalah seorang yang harus siap berproses panjang, menyempurnakan diri menjadi ibu untuk anak-anaknya, menyempurnakan diri menjadi istri untuk suaminya, memanej waktu untuk mengurus bisnisnya, melakukan komunikasi aktif dengan pelanggan maupun karyawan, meyendiri untuk beribadah dan yang tak kalah penting menekan semua egonya untuk bersenang-senang. Why? Karena waktu 24 jam tak pernah terasa cukup! Please note this very well.

Ketika bisnis sedang ramai, anak-anak cenderung tak terlalu terurus dan sebaliknya saat anak-anak butuh banyak perhatian, di situlah bisnis sepertinya harus dikorbankan. At least itulah yang saya rasakan sebagai pelaku bisnis pemula yang segala-gala banyak saya kerjakan sendiri.

Untuk bisnis online saja kan alur prosesnya lumayan panjang. Mulai dari pesan barang ke supplier, foto produk, upload di sosial media, merespon pertanyaan calon konsumen (yang seringkali berujung ngobrol ngalor ngidul, wkwk), membuatkan invoice, mengemas pesanan, mengirim ke ekspedisi, kemudian upload resi…hiyak, lumayan kan? Belum lagi kalau ada komplain, yang biasanya krn kesalahan kurir, maka siap-siap mengulang proses dari sesi respon pertanyaan 😀

Belum lagi urusan anak yang cari perhatian, rumah yang juga butuh dirapihkan, makanan yang butuh dipanaskan, jemuran yang menunggu dikeringkan, you name it lah semua kerempongan di rumah yang punya lebih dari satu balita. Hihi

Dan ketika si ibu ingin mengandalkan jasa paid promote supaya bisa lebih fokus ke hal lain, maka akan ada tantangan lain lagi ^^

to be continued…

 

 

 

 

 

MUTE: an untold story

Tulisan ini mungkin akan panjang dan membosankan (soalnya mau curhat, hehe). Jika kamu punya banyak kesibukan yang belum terselesaikan, feel free to skip this post 😀

Jadi begini ceritanya, awal mula saya mulai usaha jual beli buku itu karena kepepet. YES, kepepet pingin beli buku MUTE tapi bingung gimana caranya. Kenapa bingung? Yaiyalah, itu buku harganya 4,3jt mak dan itu harus uang semua, gak boleh dicampur daun kangkung!

Kenapa sih saya pingin banget punya buku MUTE ini? Simple aja sebetulnya, sependek yang saya ketahui, mute ini buku sirah (sejarah) Rasulullah pertama yang khusus dikemas untuk anak-anak. Saya yang selalu ketiduran saat pegang buku2 sejarah, merasa ini merupakan investasi terbaik yang bisa saya berikan untuk anak-anak (dan diri sendiri)… Saya akui seumur hidup saya ini, saya belum khatam juga membaca buku siroh…padahal saya bisa tuntas baca 7 sekuel harry potter dalam tempo lumayan cepat….ah, sekarang rasanya hal tsb bukan lagi sebuah prestasi. Saya justru merasa malu sekali….mengaku ummat Rasulullah, tapi tidak pernah tuntas baca kisah hidup beliau. Ingin dapat syafaat dari Rasulullah tapi tak berusaha cukup kuat untuk mengenal beliau T_T

Lalu dengan sebab apa saya berhak menuntut kecintaan anak-anak saya kepada sosok istimewa ini? Lha wong saya sendiri tidak paham secara utuh kisah hidup beliau. Lha wong anak-anak tidak pernah diceritakan kisah fantastis kehidupan beliau. Lha terus gimana? Dead lock. Saya tidak menemukan solusi lain. Buku siroh untuk anak-anak ini menjadi Wish List yang harus saya perjuangkan! titik.

Sebetulnya beberapa waktu lalu sempat terbit buku-buku siroh yang lebih bersahabat dengan dompet, terbitan Perisai Quran Kids, kisahnya Insya Allah shahih juga dan tidak semahal mute. Ini juga masuk wish list! Tapi saya tetap mengincar mute, utamanya karena mute ini hard cover jadi lebih aman dari sobekan anak-anak. Selain itu mute juga punya banyak bonus di dalam paketnya. Hehe…tabiat emak2 ya kalo sama bonus suka gelap mata.

Dan jadilah saya jualan buku bersebab buku mute ini…jual buku untuk beli buku! Yang dijual belum banyak, yang mau dibeli berderet-deret…maafkan saya wahai dompet.

11951902_10206972433576507_4222837883282151001_n

Yang penasaran dengan spesifikasi mute bisa mampir kesini ya, bulan ini kebetulan diskon besar. (ini sekalian promosi, biar semua ortu punya mute :D)

GO-JEK, thanks for the bike!

Alkisah suami saya harus berangkat pagi-pagi untuk dinas ke luar kota beberapa hari. Biasanya saya relakan motor menginap di parkiran sekolah demi memudahkan proses berangkat dan pulang suami tercinta. Tapi kali ini saya meminta izin untuk memakai motor tsb selama saya harus mobile (baca: beredar) kemana-mana saat suami jauh di mata. Maklum, saya kapok mondar-mandir dengan dua balita…rempong to the max kalau harus melulu dengan angkot!

Akhirnya diputuskan suami berangkat dengan GO-JEK ke sekolah. Daaan…karena kami berdua sama-sama belum pernah order go-jek, jadilah proses order lebih lama dari perkiraan. Mulai gelisah karena waktu terus berlalu sementara si abang gojek tak kunjung muncul, sampai akhirnya kami pasrah kalau memang harus telat dan suami ditinggal rombongan. Hehe

Di akhir2 masa penantian, si abang gojek pun muncul. Masya Allah rasanya seperti dapat oase di padang pasir (#lebay). Setelah diberikan helm, suami langsung bertanya ke si driver gojek. “Kalau saya yang bawa motornya boleh Mas?”

Saya agak2 ragu kalau ini tidak menyalahi prosedur, tapi ternyata si driver mengiyakan. Saya terbengong-bengong, dan sepertinya si driver menyadari ekspresi saya, “Gak apa2 Bu, kan jadi lebih cepat sampai karena suami Ibu sudah tau rutenya.”

Saya tersenyum mengiyakan.

Ganjil sekali melihat pemandangan itu. Seorang driver gojek duduk manis di kursi penumpang sambil membawa tas besar (milik suami) sementara suami saya mengemudikan motor – dan harus membayar ongkos gojeknya juga 😀

25 menit kemudian, saya melihat statusnya sudah sampai tujuan. Saya pikir itu hoax karena estimasi tercepat 28 menit tanpa bad traffic. Buru-buru saya telpon suami, ternyata betulan sudah sampai.”Kan drivernya pembalap,” kata suami saya sambil lalu.

Fffiuh, semoga si abang gojek itu tak trauma meminjamkan motornya ke penumpang (yang punya jiwa pembalap saat sedang diburu waktu) 😀

credit picture here

PMS is Always Killing Me!

Masa-masa terlemah saya adalah saat PMS! Ini sudah terjadi bertahun-tahun sejak saya masih SMA. Entah kenapa ada banyak hal yang terasa menyebalkan saat sedang dilanda PMS. Bahkan suara kucing yang berisik pun bisa sangat mengganggu saya…

Masalahnya sekarang, saya tak lagi bisa hidup sesuka-suka hati. Dulu saat dilanda PMS saya biasanya banyak diam dan mengurangi intensitas bertemu orang lain, model bertapa gitu lah ya. Intinya membuat diri merasa nyaman dan menghindari ‘possible conflicts’. Tapi sekarang saya hidup dengan dua balita fase egosentris yang menuntut kesabaran level tinggi. Dan situasinya semakin sulit saat saya PMS!

Menurut seorang psikolog di salah satu grup emak-emak yang saya ikuti di WhatsApp, sangat wajar jika saat terkena PMS kita menjadi lebih sensitive dan banyak mengalami kesulitan mengatur emosi. Namun jika gejala PMS yang dirasakan cukup berat, ada baiknya konsultasikan dengan dokter untuk diresepkan sejenis obat penyetabil hormon.

Haduh, kok kesannya parah sekali ya kalau sampai harus minum obat. Hiks. Yang saya rasakan memang sejenis “mood swing” yang sangat acak. Jika di hari normal saya biasa saja melihat anak-anak menumpahkan jus melon di atas tas laptop berbulu halus, maka di saat PMS saya bisa kesal setengah jiwa hanya dengan melihat anak-anak bermain dengan pintu. Huffft.

Kadang saya berhasil melewati satu fase PMS tanpa emosi yang ‘lebay’. Tapi kadang saya juga gagal total. Saya harus mulai dari nol lagi untuk menata hati melalui fase PMS dengan dua balita….Jika dulu zaman SMA dan kuliah, berdiam diri bisa cukup berhasil, dan saat punya satu anak saya bisa mencukupkan diri dengan banyak refreshing (walau tetap sambil bawa anak)….mungkin sekarang saya harus coba hal yang beda…tapi apa ya? Yeah, I’ll update the finding later lah ya.

Yang jelas saya selalu sempatkan minta pertolongan Allah. Mungkin kadang saya khilaf, tapi semoga Allah selalu menjaga saya dari perkara yang fatal, mengembalikan saya pada kesadaran yang utuh, memampukan saya menata hati setiap hari, dan memaafkan segala kealpaan saya dalam menjaga amanah-amanahNya…

picture credit from here

picture credit here

Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang

Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perselisihan. Tidak pernah ada. Yang menang, meskipun menang, sedikit banyak pasti telah menyakiti hati lawannya. Apalagi yang kalah, selain menanggung malu, dia juga pasti merasa tidak nyaman karena tidak berhasil mempertahankan argumennya (atau egonya?).

Kamis lalu, Allah menegur saya lewat sebuah peristiwa kecil yang membuat saya tersadar bahwa dalam hidup ini tidak semua kemenangan itu terasa menyenangkan.

Saat itu saya membawa serta si sulung (3y2m) untuk melakukan beberapa kegiatan di bank. Karena nasabah yang ada di CS (yang jumlahnya CUMA 1) belum juga beranjak, saya memutuskan bertransaksi dengan teller terlebih dahulu.

Percayalah, mengantri dengan membawa balita itu bukan perkara yang mudah. Selain punya rasa ingin tahu yang besar, balita juga punya sepasang tangan dan kaki yang entah kenapa tak pernah bisa diam lama, selalu aktif bergerak. Belum lagi memikirkan si bungsu (1y4m) yang saya tinggal di rumah di jam tidur siangnya, makin ingin rasanya segera beranjak keluar antrian.

Singkat kata, setelah sekian lama, nasabah yang ada di CS pun (akhirnya) bangkit dari kursinya. Si mbak CS memanggil nomor 01, nomor yang saya pegang sejak tadi. Saya dengan sigap langsung mengajak si sulung menghampiri CS, tapi dicegah oleh lengkingan seorang ibu trendi…

“Loh mbak kayaknya ini giliran saya deh!” sergahnya tidak senang ke arah saya. Ibu ini sudah berdiri di depan CS juga.

Saya membaca kembali nomor antrian yang saya pegang, bener nomor 01, “Tapi Bu ini saya pegang nomor 01,” kata saya berusaha membuatnya mengerti bahwa saya memang tidak menyela antriannya.

“Tapi kan saya yang duluan antri, tadi mbak lagi di teller kan?”

Dalam hati saya membatin, saat saya ambil nomor antrian ini si ibu belum datang lho.

“Saya nih buru-buru tau mbak, mau jemput anak sekolah!”

Demi mendengarnya bicara dengan nada tak sopan begitu, saya pun tersulut emosi. “Bu, saya juga gak nyantai. Saya ditunggui bayi di rumah!” sergah saya tak mau kalah.

Si ibu kembali duduk sambil menggerutu. Saya memandanginya tak senang. Mbak CS pun menengahi dan meminta kami menunggu Pak Satpam yang bertugas mengatur antrian (si bapak ini sedang ke belakang rupanya).

“Maaf ya bu, urutannya memang mbak ini duluan sebelum ibu.” Jelas pak Satpam yang saya sambut dengan seringai tak kasat mata, si ibu trendi duduk sambil kecewa dan tak mau memandang saya.

Sejenak saya merasa menang. Sungguh. Kemenangan besar.

Lima menit berikutnya, saya justru menyesal.

Menyesal kenapa saya begitu mudah terpancing emosi di depan anak, padahal saya ingin anak saya jadi manusia yang sabar.

Menyesal kenapa si ibu trendi tidak meminta saya dengan baik-baik jika memang dia begitu tergesa…

Ah, Allah…mampukanku banyak bersabar dan bersyukur.

Lima belas menit di CS yang begitu menyiksa. Saya mungkin harus minta maaf, tapi ternyata si ibu trendi sedang sangat sibuk menelpon saat saya melewatinya.

Pensieve

Quotes

Beberapa waktu lalu sebelum suami berangkat kerja, saya ditanya (lagi) apakah sudah ingin punya rumah dan/atau mobil sendiri. Saya terdiam sejenak. Tawaran yang menggiurkan bukan? Toh mudah sekali proses awalnya, tinggal ajukan KPR ke bank dan kredit dari leasing…

Ah, iya, mudah sekali untuk bilang iya. Mudah sekali. Toh, banyak yang begitu kan? Katanya kalau tidak dipaksakan tidak akan bisa punya rumah dan mobil. Katanya kalau ada kemauan (mencicil) pasti bisa (lunas). Katanya harga properti akan terus melambung tinggi dan sulit dijangkau. Katanya dan katanya….

Saya kemudian tersenyum dan menggeleng (lagi). Suami pun ikut tersenyum dan mengangguk…

Duhai suamiku, maafkan jika ini membuatmu merasa “kurang” cukup menafkahi kami.
Jika ini membuat keluarga kita “berbeda” dari yang lain.
Jika ini membuatmu tampak lebih “tidak mampu” dari rekan2mu.
Sungguh aku lebih khawatir jika Allah tidak memampukan kita menggapai surgaNya.
Sungguh aku lebih takut jika kita tidak diperkenankan memiliki rumah di sana.
Sungguh aku lebih cemas jika Allah tak mau lagi mencurahkan barakahNya pada keluarga kita….

Biarlah manusia memprediksi dengan akalnya
Biarlah dollar melambung tinggi ke angkasa
Biarlah semua makhluk menyatakan “sulit” dan “tak mungkin”
Sesungguhnya tidak ada yang tak mungkin bagiNya
Sesungguhnya segala daya dan upaya hanya sebatas izinNya
Sesungguhnya manusia tidak punya pengetahuan sedikitpun tentang masa depan

Sayang, mari kita perbanyak ikhtiar dan doa, semoga dengan itu Allah berkenan memberi jalan yang lebih menentramkan.

Erni.S

@bukuanakhebat

===============================================================================
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain adalah kesenangan yang palsu. (QS. Al-Hadid: 20)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak  dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron: 14)

Parenting in a glance!

Memenuhi hutang janji saya pada seorang kawan beberapa waktu lalu maka terpaksalah (duh, kok terpaksa) saya menuliskan ini di sini. Iya di sini, karena bingung juga mau nulis dimana. Di WhatsApp malas nulis panjang2, di FB kok ya gak sreg, di twitter jelas gak muat. Yeah, Micro blogging doesn’t suit me! *gaya, padahal nulis cuma setahun sekali!

Sebenarnya teman saya ini cuma ingin dengar cerita saya mendidik anak. Sudah. Lha tapi saya bingung harus bagaimana memulai dan mengakhirinya. Pasalnya teman saya ini belum beranak (belum punya anak), huehue, semoga segera ya neng! Untuk saya pribadi, dengan siapa saya bicara akan sangat menentukan apa yang saya bicarakan. Coba bayangkan saya ngoceh tentang sulitnya membuat resep pempek yang praktis ke suami, nyambungkah? Bisa tapi sulit.

Jadi mari kita bicara hal-hal yang mendasar dulu yak!

Pertama, parenting is an art! Ini yang selalu saya tekankan ke diri sendiri dan ke suami tentunya. Tiap keluarga akan memiliki gaya pengasuhan yang berbeda-beda. Pun tidak boleh membandingkan keluarga yang satu dengan yang lain. Sesuatu yang dianggap penting oleh satu keluarga belum tentu penting untuk keluarga lain. So, never compare (to much) about parenting style! Yang terpenting itu outputnya. Mau pilih gaya pengasuhan seperti apapun, jika itu bisa menjadikan ortu dan anak berkembang ke arah yang lebih baik, why not?

Kedua, harus punya visi dan misi. Ingat ya, HARUS! Itu artinya wajib dan tidak bisa ditawar-tawar. Lha mosok punya anak gak tau mau dibawa kemana. Kan tanggung jawab atas anak itu terus dibawa sampai mati. Pun visi misi ini yang akan mempermudah kita membuat “lesson plan” untuk si anak. Sebagai muslim tentu visi yang dibentuk bukan hanya terkait urusan dunia saja, tapi lebih ke akhirat. Urusan duniawi itu Insha Allah mudah dibentuk, sementara yang berat itu menanamkan keimanan, akhlak dan adab sedari dini. PR besarnya adalah, bagaimana supaya anak-anak kita bisa tetap istiqomah berIslam dengan kaffah sepeninggal kita nanti….

Ketiga, pilih metode pendidikan yang baik. Ini sudah masuk ke tataran praktis ya. Awal punya anak dulu saya rajin ikuti kultwit parenting atau masuk forum emak-emak tentang parenting. Sekarang saya batasi karena gak punya waktu sebanyak dulu dan kadang bikin bingung juga, hehehe. Saya merasa lebih baik mengikuti metode pendidikan yang sudah terbukti ampuh mencetak generasi-generasi salafus shaleh. Iya, sekarang saya sedang berusaha menuntaskan buku Tarbiyatul Aulad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) dan saya merasa lebih nyaman karena jadi punya landasan shahih dalam mengarahkan anak-anak, Insha Allah.

Keempat, selalu mohon petunjuk dan pertolongan Allah 🙂

Kelima, never stop learning!

PS: yang mau lihat bukunya boleh intip di IG @bukuanakhebat atau disini. (iklan terselubung, wkwkwk)

untuk membantu para ortu mendidik anaknya.

Teeth and Threat

Cerita ini mungkin kurang penting, tapi yah itulah gunanya blogging: mencatat hal-hal penting maupun tidak penting. Iya kan? :p

Setelah berminggu-minggu memikirkan trik jitu mengajak Azzam (2y4m) sikat gigi (dan belum berhasil), kok malah saya yang merasa butuh ke dokter gigi. Yak, mantap nih! Jujur saya takut ke dokter gigi. Mungkin karena jarang dibawa ke dokter gigi saat kecil ya. Lha wong dulu saya tuh cabut gigi susu sama ibu di rumah 😀

Panjang cerita, sore hari saya langsung ke RS kecil dekat rumah, meninggalkan bayi di rumah bersama ayahnya sementara si Azzam saya bawa serta. Dasar anak kecil ya, gak paham orang lagi dag dig dug, Azzam terus saja bicara. “Kita mau kemana Bunda?” | “Ke dokter gigi, gigi bunda sakit dimakan kuman. Makanya Azzam sikat gigi ya supaya giginya gak dimakan kuman kayak Bunda.” | hening kemudian “Enggak sikat gigi” | Zzzz….

Karena di RS sebelumnya tidak ada dokter gigi yang praktik di hari Sabtu, jadilah saya pindah tempat. Esoknya saya ke Lakesgilut AU (Lembaga Kesehatan Gigi dan Mulut) milik Angkatan Udara RI. Hmmm…katanya sih petugasnya disini tentara semua. Oke, saya makin ngeri. Ditambah saya macam darmawisata, bawa dua anak (satu batita dan satu bayi) serta suami. Makin tidak tenanglah hati ini. Ya Allah, bagaimana nanti misalnya saat di ruangan dokter si bayi menangis, ayahnya tak bisa menenangkan kemudian masuk dan si dokter tentara jadi gusar! Oke, mari abaikan ini.

Singkat cerita saya minta dengan dokter yang perempuan supaya tidak terlalu mengerikan. Beliau masih muda, ramah, dan sabar. Beberapa pembicaraan kami menurut saya lucu, seperti saat beliau bilang “Mbak kok gigi gerahamnya kurang jumlahnya?” | Saya kaget dan heran dong ditanya begitu “Kurang dok?” | “Iya ini jumlahnya kurang dua. Kalau kuragnya satu sih masih wajar tapi kalau dua…” | Saya makin bingung lah melihat si dokter yang kebingungan “Jadi gigi geraham saya kemana dok? Apa mungkin belum tumbuh?” dalam hati saya merasa lucu belum tumbuh gigi di usia segini. | “Saya khawatirnya infeksi jadi gak muncul, makanya ada rasa nyeri padahal gak ada lubang gigi.” | Jleb

Oke, setelah itu saya dirujuk ke poli rontgen dan jadilah saya rontgen gigi dengan alat yang suaranya bikin galau. Kalau saya tidak menutup mata, rasanya saya pingin kabur deh. Sekembalinya ke ruangan dokter, saya belum juga mendapat kepastian. Menurut ibu dokter yang baik itu hasil rontgen tidak menunjukkan ada lubang gigi yang butuh ditambal jadi saya dirujuk untuk ke ruang 6 (lupa namanya) untuk bersihkan karang saja. Bahkan permintaan saya untuk mengganti tambalan gigi yang rasanya sudah lama dan agak kasar pun beliau tolak….”Masih bagus,” katanya. Mosok iya saya mau ngeyel. Yasudah lah, saya manut. Jadi nyeri gigi ini belum terpecahkan penyebabnya, menurut ibu dokter itu karena masalah trauma di gusi saja. Oke, Bismillah!

Jadi saya pulang tanpa dapat tindakan apa2 kecuali rontgen saja (Alhamdulillah, yeay!). Saya urung ke ruang 6 karena antrian panjang. Kasihan anak2 (padahal yang satu asyik main dan yang bayi tidur pulas di musholla) 😀

 

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, tiba2 datang seorang Non Muslim mengumumkan keIslamannya dari atas panggung & bersyahadah dihadapan ribuan orang.

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, ada seorang lelaki yang melintasi tenda para wanita dan terlihat ada lubangnya kemudian lelaki tersebut melepas pakaiannya dan menutupi lubang tersebut lalu meninggalkannya demi menjaga kehormatan para Muslimah.

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, secara mandiri para demonstran membersihkan seluruh area sehingga nyaman digunakan untuk tidur saking bersihnya..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, Anda kan senantiasa mendengar nada dering tilawah Al Quran seakan2 kamu berada di tengah2 para malaikat..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, para wanita dapat berjalan dan melintasi seluruh area yang penuh sesak dengan aman dan sangat nyaman…

… seakan-akan mereka berada di tengah ayah-ayah dan ibu-ibu mereka, dan mereka senantiasa dibukakan jalan agar dapat melintasinya..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, kamu tidak akan mendengar suara pedagang asongan atau kaki lima yang berteriak menjajakan dagangannya..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, peniaga-peniaga toko dan warung dengan leluasa meninggalkan gerai mereka terbuka luas…

…bahkan ditinggal untuk tidur sambil mengatakan “siapa pun yang perlu sesuatu, silahkan ambil dan letakkan bayarannya di dalam laci…

… dan saat MEREKA kembali jumlah uangnya selalu bertambah sesuai dengan barang yang dibeli.

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, banyak para lelaki menangis bersiap untuk dibunuh bersama saudara-saudara mereka lainnya…

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, di keheningan sholat subuh & kesejukan tetapi tetap teguh dan tidak lari dari bedilan senjata yang menyalak.

 

_______

*by @myfayi (dikutip dan diterjemahkan bebas dari Mesir Kini, ini adalah nukilan tulisan salah seorang demonstran di Medan Rabiatul Adawiyah)

Badai GTM, Cepatlah Berlalu!

Gerakan Tutup Mulut (GTM) memang selalu jadi mosnter buat para ibu yang punya bayi dan balita. Hffff….setelah diterpa badai GTM untuk entah berapa lama, akhirnya saya ngoprek lagi milis kece MPASI Rumahan (niat banget nyari temen senasib biar bisa curcol #eh). Setelahnya, lumayan bisa menambah stok sabar dan kasih mood booster buat bikinin menu baru dan ‘berjibaku’ nyuapin baby Azzam :). Satu quote keren dari mama kece disana adalah “ada masanya anak susah makan, dan (akan) ada masanya anak hobi makan” :D. Alhamdulillah, sekarang jadi lebih santai. Bayangin masa-masa baby Azzam hobi makan (someday in the future), hehehe.

Kalau sudah begini pasti terbayang susahnya orang tua kita dulu. Saya masih beruntung hidup di zaman yang well-connected, mudah terhubung dengan berbagai sumber informasi, bisa cari temen senasib disana-sini via milis, bisa cari menu bayi yang unik dari seluruh web di dunia, punya alat MPASI kumplit (walau kadang males makenya, haha). Lha ibu saya? Pasti stress juga ngadepin saya yang baru bisa dan suka makan menjelang SMP! *tepokjidat. Semoga baby Azzam enggak se food-jag saya. Amin.

Kalau saya buat statistik kasar (data dari milis), maka semua anak pasti alami fase GTM dengan berbagai gaya, mulai dari mulut dikunci rapat saat lihat makanan, makanan diemut, makanan dilepeh, sampai makanan ditangisin :D. Semuanya sama tinggi prosentasenya karena semua fase itu silih berganti datang ke acara makan bayi-bayi kita. Buat yang menuju MPASI, siapkan diri dan besarkan hati ya! Kalau si baby GTM, jangan galau, you are not alone!

Baby Azzam juga kadang (eh sering, ding) ikut aksi GTM, mulai dari tutup mulut saat sendok mendekat, sembur-sembur makanan (kalau di dunia per-MPASI-an ini disebut aksi SEMBUR MAKANAN), dan belakangan nih lagi hobi lepeh-lepeh makanan.

Pusing? Jelas. Sedih? Pasti. Lha wong sudah bikinin makanan susah2 tapi tetap ditolak, apa rasanya coba? Untungnya saya belum sampai pada fase nangis-nangis di pojokkan dapur sambil garuk-garuk lantai pake sutil *lebay. Tapi bukan ibu namanya kalau gampang nyerah. Saya masih coba ini-itu, semoga badai GTM ini cepat berlalu. Satu yang pasti, saya harus selalu bersyukur karena walaupun porsi makannya seiprit, somehow pertumbuhan baby Azzam OK. He’s just in the right track! Sesuatu yang selalu saya syukuri berkali-kali 😀

Yak, saatnya berburu menu2 imut lainnya. Tetap semangat semua! ^^v

gtmgambar dari sini