Pensieve

Quotes

Beberapa waktu lalu sebelum suami berangkat kerja, saya ditanya (lagi) apakah sudah ingin punya rumah dan/atau mobil sendiri. Saya terdiam sejenak. Tawaran yang menggiurkan bukan? Toh mudah sekali proses awalnya, tinggal ajukan KPR ke bank dan kredit dari leasing…

Ah, iya, mudah sekali untuk bilang iya. Mudah sekali. Toh, banyak yang begitu kan? Katanya kalau tidak dipaksakan tidak akan bisa punya rumah dan mobil. Katanya kalau ada kemauan (mencicil) pasti bisa (lunas). Katanya harga properti akan terus melambung tinggi dan sulit dijangkau. Katanya dan katanya….

Saya kemudian tersenyum dan menggeleng (lagi). Suami pun ikut tersenyum dan mengangguk…

Duhai suamiku, maafkan jika ini membuatmu merasa “kurang” cukup menafkahi kami.
Jika ini membuat keluarga kita “berbeda” dari yang lain.
Jika ini membuatmu tampak lebih “tidak mampu” dari rekan2mu.
Sungguh aku lebih khawatir jika Allah tidak memampukan kita menggapai surgaNya.
Sungguh aku lebih takut jika kita tidak diperkenankan memiliki rumah di sana.
Sungguh aku lebih cemas jika Allah tak mau lagi mencurahkan barakahNya pada keluarga kita….

Biarlah manusia memprediksi dengan akalnya
Biarlah dollar melambung tinggi ke angkasa
Biarlah semua makhluk menyatakan “sulit” dan “tak mungkin”
Sesungguhnya tidak ada yang tak mungkin bagiNya
Sesungguhnya segala daya dan upaya hanya sebatas izinNya
Sesungguhnya manusia tidak punya pengetahuan sedikitpun tentang masa depan

Sayang, mari kita perbanyak ikhtiar dan doa, semoga dengan itu Allah berkenan memberi jalan yang lebih menentramkan.

Erni.S

@bukuanakhebat

===============================================================================
Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurauan, perhiasan dan saling berbangga diantara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian (tanaman) itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia tidak lain adalah kesenangan yang palsu. (QS. Al-Hadid: 20)

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak  dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali Imron: 14)

Teeth and Threat

Cerita ini mungkin kurang penting, tapi yah itulah gunanya blogging: mencatat hal-hal penting maupun tidak penting. Iya kan? :p

Setelah berminggu-minggu memikirkan trik jitu mengajak Azzam (2y4m) sikat gigi (dan belum berhasil), kok malah saya yang merasa butuh ke dokter gigi. Yak, mantap nih! Jujur saya takut ke dokter gigi. Mungkin karena jarang dibawa ke dokter gigi saat kecil ya. Lha wong dulu saya tuh cabut gigi susu sama ibu di rumah 😀

Panjang cerita, sore hari saya langsung ke RS kecil dekat rumah, meninggalkan bayi di rumah bersama ayahnya sementara si Azzam saya bawa serta. Dasar anak kecil ya, gak paham orang lagi dag dig dug, Azzam terus saja bicara. “Kita mau kemana Bunda?” | “Ke dokter gigi, gigi bunda sakit dimakan kuman. Makanya Azzam sikat gigi ya supaya giginya gak dimakan kuman kayak Bunda.” | hening kemudian “Enggak sikat gigi” | Zzzz….

Karena di RS sebelumnya tidak ada dokter gigi yang praktik di hari Sabtu, jadilah saya pindah tempat. Esoknya saya ke Lakesgilut AU (Lembaga Kesehatan Gigi dan Mulut) milik Angkatan Udara RI. Hmmm…katanya sih petugasnya disini tentara semua. Oke, saya makin ngeri. Ditambah saya macam darmawisata, bawa dua anak (satu batita dan satu bayi) serta suami. Makin tidak tenanglah hati ini. Ya Allah, bagaimana nanti misalnya saat di ruangan dokter si bayi menangis, ayahnya tak bisa menenangkan kemudian masuk dan si dokter tentara jadi gusar! Oke, mari abaikan ini.

Singkat cerita saya minta dengan dokter yang perempuan supaya tidak terlalu mengerikan. Beliau masih muda, ramah, dan sabar. Beberapa pembicaraan kami menurut saya lucu, seperti saat beliau bilang “Mbak kok gigi gerahamnya kurang jumlahnya?” | Saya kaget dan heran dong ditanya begitu “Kurang dok?” | “Iya ini jumlahnya kurang dua. Kalau kuragnya satu sih masih wajar tapi kalau dua…” | Saya makin bingung lah melihat si dokter yang kebingungan “Jadi gigi geraham saya kemana dok? Apa mungkin belum tumbuh?” dalam hati saya merasa lucu belum tumbuh gigi di usia segini. | “Saya khawatirnya infeksi jadi gak muncul, makanya ada rasa nyeri padahal gak ada lubang gigi.” | Jleb

Oke, setelah itu saya dirujuk ke poli rontgen dan jadilah saya rontgen gigi dengan alat yang suaranya bikin galau. Kalau saya tidak menutup mata, rasanya saya pingin kabur deh. Sekembalinya ke ruangan dokter, saya belum juga mendapat kepastian. Menurut ibu dokter yang baik itu hasil rontgen tidak menunjukkan ada lubang gigi yang butuh ditambal jadi saya dirujuk untuk ke ruang 6 (lupa namanya) untuk bersihkan karang saja. Bahkan permintaan saya untuk mengganti tambalan gigi yang rasanya sudah lama dan agak kasar pun beliau tolak….”Masih bagus,” katanya. Mosok iya saya mau ngeyel. Yasudah lah, saya manut. Jadi nyeri gigi ini belum terpecahkan penyebabnya, menurut ibu dokter itu karena masalah trauma di gusi saja. Oke, Bismillah!

Jadi saya pulang tanpa dapat tindakan apa2 kecuali rontgen saja (Alhamdulillah, yeay!). Saya urung ke ruang 6 karena antrian panjang. Kasihan anak2 (padahal yang satu asyik main dan yang bayi tidur pulas di musholla) 😀

 

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, tiba2 datang seorang Non Muslim mengumumkan keIslamannya dari atas panggung & bersyahadah dihadapan ribuan orang.

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, ada seorang lelaki yang melintasi tenda para wanita dan terlihat ada lubangnya kemudian lelaki tersebut melepas pakaiannya dan menutupi lubang tersebut lalu meninggalkannya demi menjaga kehormatan para Muslimah.

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, secara mandiri para demonstran membersihkan seluruh area sehingga nyaman digunakan untuk tidur saking bersihnya..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, Anda kan senantiasa mendengar nada dering tilawah Al Quran seakan2 kamu berada di tengah2 para malaikat..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, para wanita dapat berjalan dan melintasi seluruh area yang penuh sesak dengan aman dan sangat nyaman…

… seakan-akan mereka berada di tengah ayah-ayah dan ibu-ibu mereka, dan mereka senantiasa dibukakan jalan agar dapat melintasinya..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, kamu tidak akan mendengar suara pedagang asongan atau kaki lima yang berteriak menjajakan dagangannya..

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, peniaga-peniaga toko dan warung dengan leluasa meninggalkan gerai mereka terbuka luas…

…bahkan ditinggal untuk tidur sambil mengatakan “siapa pun yang perlu sesuatu, silahkan ambil dan letakkan bayarannya di dalam laci…

… dan saat MEREKA kembali jumlah uangnya selalu bertambah sesuai dengan barang yang dibeli.

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, banyak para lelaki menangis bersiap untuk dibunuh bersama saudara-saudara mereka lainnya…

Hanya di Medan Rabiatul Adawiyah, di keheningan sholat subuh & kesejukan tetapi tetap teguh dan tidak lari dari bedilan senjata yang menyalak.

 

_______

*by @myfayi (dikutip dan diterjemahkan bebas dari Mesir Kini, ini adalah nukilan tulisan salah seorang demonstran di Medan Rabiatul Adawiyah)

a nice husband is you :D

Saya kadang heran sendiri dengan kelakuan si ayah, kalau lelaki lain suka protes dengan kebiasaan aneh si istri, lha kalo suami saya kok malah mendukung ya? hehehe. Mulai dari kebiasaan menunda pekerjaan rumah sampai jadi impulsive buyer, semuanya dibolehkan. Lha bagaimana ini? Senang? Iya, tapi lucu rasanya 😀

Misalnya, sewaktu saya mengoprek lemari dan menemukan sebuah cetakan kue kering yang diberikan ibu mertua saya saat menikah dulu, saya langsung lapor ke si ayah bahwa saya butuh beli oven supaya cetakan kue tersebut bisa digunakan. Jadilah saya melaporkan penemuan penting itu saat si ayah pulang kerja. Daan tanpa ba-bi-bu.

Ayah: Memangnya berapa budget yang dibutuhkan, bun?

Saya: Kisaran 600-800rb sih sepertinya.

Ayah: Oke, besok sabtu yuk kita beli!

Lha, padahal saya sudah membayangkan akan dicounter dan saya sudah menyiapkan argumen jitu bahwa oven tersebut bisa digunakan untuk membuat snack baby Azzam, tapi nyatanya argumen tersebut tidak diperlukan 😀

Atau saat saya sedang berpikir sesuatu yang bahkan belum saya pertimbangkan, tiba-tiba si ayah akan mendukung ide saya dan jadi lebih bersemangat dari saya. Yang ini kadang bikin saya repot, hehehe. Misalnya saat saya berujar bahwa baby Azzam makin mantap beratnya untuk dibawa jalan-jalan dan mungkin akan lebih mudah jika dia punya sepeda yang bisa didorong dari belakang sehingga dia bisa duduk manis dan saya membawanya jalan-jalan tanpa pegal-pegal, haha. Biasanya ide seperti itu langsung difollow up kurang dari 48 jam!

Ayah: Bun, besok kita cari sepeda yuk!

Saya: Sepeda buat siapa?

Ayah: Lha katanya mau beli sepeda buat Azzam?

Saya: Eh iya sih, tapi setelah dipikir-pikir, Azzam sepertinya ga akan bertahan lama duduk di sepeda dan ujung-ujungnya minta digendong juga. Mungkin belum perlu sepeda sekarang yah…

Ayah: Gak apa-apa kita beli aja supaya bisa dipakai jalan-jalan.

Saya: *garuk-garuk kepala

Atau momen disaat saya sedang sok jadi menteri keuangan yang super bijak sehingga saya gunakan seluruh uang belanja bulanan yang diberikan si ayah untuk menabung! Yak, menabung, SELURUHNYA! Jadilah saya seperti istri yang belum dikasih uang belanja karena setiap akan belanja saya datang dulu ke ayah 😀

Ayah: Uang belanjanya sudah habis bun?

Saya: Belum kok, kemarin ditabung ke bank.

Ayah: Semuanya?

Saya: Iya *sambil pasang muka serius*

Ayah: Kok?

Saya: Iya supaya cepet banyak dan itu, aku pingin beli RD *kali ini sambil senyum lebar :D*

Ayah: Hahaha, terus belanjanya bagaimana?

Saya: Ya begini, minta dulu sama pemilik modal, aku kan manajer ajah 😛

Ayah: Hahaha, iya deh.

See? Lucu kan? Kepercayaannya terhadap saya memang luar biasa. Dalam penilaiannya, apapun keputusan saya, pasti sudah saya pertimbangkan baik-buruknya. Dan menurutnya lagi, saya tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting. Hahaha *GR*, not to mention my request for foods and ice cream ya! Makanya saya selalu dipersilahkan untuk melakukan apapun yang menjadi keinginan saya, karena kami sama-sama tahu bahwa keluarga adalah anugrah dan prioritas, ia adalah tempat kami saling menghargai dan melengkapi, bukan menyalahkan dan menghakimi.

Eits, gak semua diskusi berakhir mulus dan singkat ya. Ada juga diskusi yang agak lebih panjang, misalnya saat saya sedang gandrung belajar reksadana (RD) dan saya bermaksud mengalihkan sedikit asset ke portofolio tersebut. Wajar sih, mungkin karena saya juga yang terlalu buru-buru memutuskan tanpa melibatkan si ayah dalam proses belajar tersebut.

Ayah: Kenapa bukan dialihkan ke LM saja, bun? Itu lebih nyaman rasanya.

Saya: Ayah, never put all your eggs in one basket, itu prinsipnya. Lagipula bingung deh nyimpen LM itu yang nyaman bagaimana.

Ayah: Kamu sudah paham betul itu tentang rd?

Saya: Sudah belajar tapi rasanya akan lebih mudah kalau langsung praktek kan?

Ayah: *tampak ragu memberi jawaban*

Saya: Untuk percobaan gak akan banyak kok yah, tenang aja. Sekarang kan bisa beli dengan 100rb aja.

Ayah: Iya coba sedikit saja dulu, diamati pergerakannya, dan pilih yang syariah ya, ada kan?

Saya: Eh, iya ada kok.

Ayah: Tapi IHSG lagi naik sekarang, berpengaruh gak sama harga rd? Kalau iya, tunggu turun dulu saja.

Saya: Eh iya ya, pengaruh gak ya? *bingung sendiri*

Ayah: *senyum-senyum*

Saya: Iya, nanti belajar lagi dulu :p

Dan sampai sekarang pun saya belum kesampaian beli instrumen ini. Waktu luang belum datang juga 😀

Intinya, wahai para lelaki, berlakulah baik pada istri-istri kalian karena hal tersebut membuat kami merasa begitu berharga! (Lho? Maaf ya, lagi malas membuat kesimpulan yang logis :p)

 

 

 

 

 

 

Lucu Sekali!

Bukankah ada banyak hal di dunia ini yang bisa membuat kita tertawa? Bukankah ada banyak orang yang cukup lucu untuk ditertawakan?

 

Seperti seseorang yang selalu melupakan sesuatu yang telah dia ucapkan atau lakukan sehingga kita kesulitan untuk berkomunikasi dengannya secara NORMAL.

Seperti lulusan luar negeri yang tidak mampu berpikir secara OBJEKTIF.

Seperti atasan yang menutup pintu diskusi ketika dia bad mood, sehingga terkesan sangat CHILDISH.

Seperti orang yang selalu mengomentari orang lain tapi tidak pernah BERKACA.

Seperti pendidik yang kurang punya manner sehingga terkesan UNEDUCATED.

Seperti seorang wanita yang entah kenapa punya hobi KOMPLAIN dan MARAH2.

 

Bukankah mereka lucu (dan menyedihkan)?

Semoga Allah melindungi kita dari orang-orang dan sifat-sifat seperti di atas. AMIN

Self Reflection

I believe in Karma what you give is what you get returned
I believe you can’t appreciate real love until you’ve been burned
I believe the grass is more greener on the other side
I believe you don’t know what you’ve got until you say goodbye

Lagu yang dinyanyikan Savage Garden itu selalu saja membuat saya berpikir. Lagu itu sejalan dengan nasihat mbah saya “Kamu menuai yang kamu tanam. Kalau tanam rumput ya jangan berharap menuai padi. Kalau berbuat buruk ya jangan dapat sesuatu yang baik.” Begitu kira-kira bunyinya.

Ada orang yang dengan mudahnya mengerjakan keburukan, tanpa pernah peduli pada fakta bahwa mungkin hal itu menjadi penghalang datangnya kebaikan di masa mendatang. Ada lagi orang yang senang mengumbar emosi, membuat banyak orang terluka, tanpa pernah tau mungkin ada doa orang yang tersakiti yang didengar dan diamini oleh malaikat. Ada pula orang yang tidak pernah tau bahwa mendengarkan sama pentingnya dengan berbicara. Banyak sekali orang yang hobi bicara tapi sedikit mendengar, tanpa pernah mengerti bahwa orang yang bicara punya kemungkinan bersalah 2x lebih besar dibandingkan orang yang mendengar.

So, be wise!

Ah, saya kok sok bijak sekali ya? Mungkin ini memang perlu, sekedar mengingatkan diri sendiri untuk tidak menjadi seperti orang yang tidak kita sukai karena keburukannya. Naudzubillah…

Syair Renungan untuk Suami Muslim

Pernikahan atau perkawinan,

Menyingkap tabir rahasia.

Istri yang kamu nikahi,

Tidaklah semulia Khadijah,

Tidaklah setaqwa Aisyah,

Pun tidak setabah Fatimah.

Justru Istrimu hanyalah wanita akhir zaman,

Yang punya cita-cita,

Menjadi solehah…

Pernikahan atau perkawinan,

Mengajar kita kewajiban bersama.

Istri menjadi tanah, kamu langit penaungnya,

Istri ladang tanaman, kamu pemagarnya,

Istri kiasan ternakan, kamu gembalanya,

Istri adalah murid, kamu mursyidnya,

Istri bagaikan anak kecil, kamu tempat bermanjanya.

Saat Istri menjadi madu, kamu teguklah sepuasnya,

Seketika Istri menjadi racun, kamulah penawar bisanya,

Seandainya Istri tulang yang bengkok, berhatilah meluruskannya.

Pernikahan atau perkawinan,

Penginsyafkan kita perlunya iman dan taqwa.

Untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah Swt.,

Karena memiliki Isteri yang tak sehebat mana,

Justru kamu akan tersentak dari alpa,

Kamu bukanlah Rasulullah,

Pun bukanlah Sayyidina Ali Karamallahhuwajhah,

Cuma suami akhir zaman,

Yang berusaha menjadi soleh…

Amin.

 

*by: Enggar Tri W

Syair Renungan untuk Istri Muslim

Pernikahan atau perkawinan,

Membuka tabir rahasia.

Suami yang menikahi kamu,

Tidaklah semulia Muhammad Saw.,

Tidaklah setaqwa Ibrahim,

Pun tidak setabah Ayyub,

Atau pun segagah Musa,

Apalagi setampan Yusuf.

Justru suamimu hanyalah pria akhir zaman,

Yang punya cita-cita,

Membangun keturunan yang soleh ……

Pernikahan atau perkawinan,

Mengajar kita kewajiban bersama.

Suami menjadi pelindung, kamu penghuninya,

Suami adalah nahkoda kapal, kamu navigatornya,

Suami bagaikan balita yang nakal, kamu adalah penuntun kenakalannya,

Saat Suami menjadi raja, kamu nikmati anggur singgasananya,

Seketika Suami menjadi bisa, kamulah penawar obatnya,

Seandainya Suami masinis yang lancang, sabarlah memperingatkannya..

Pernikahan ataupun Perkawinan,

Mengajarkan kita perlunya iman dan taqwa,

Untuk belajar meniti sabar dan ridha Allah Swt.,

Karena memiliki suami yang tak segagah mana,

Justru Kamu akan tersentak dari alpa,

Kamu bukanlah Khadijah, yang begitu sempurna di dalam menjaga,

Pun bukanlah Hajar, yang begitu setia dalam

sengsara, cuma wanita akhir zaman,

Yang berusaha menjadi solehah…..

 

*by: Enggar Tri W

Mengelola Ketidaksempurnaan

oleh: M. Anis Matta

Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad. Apalagi yang tersisa dari kecantikan setelah ia dibagi habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW? Apalagi yang tersisa dari pesona kebajikan setelah ia direbut oleh Ustman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan budi setelah ia direbut habis oleh Aisyah?

Kita hanya berbagi pada sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang telah direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilihan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shaleh yang tidak menawan atau perempuan shalehah yang tidak cantik.

Pesona kita selalu tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisik itu Imam Ghazali mengatakan: “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah SAW bersabda: “Tapi pilihlah calon istri yang taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”

Persoalan kita adalah ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Puteri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar manusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis.Puteri yang pernah menjadi trendsetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk disia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada yang secara obyektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua ketimbang Diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, “Karena saya lebih bisa bicara dengan Camila.”

Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang Bukan karena kecantikan atau ketampanan berkurang. atau hilang bersama waktu. Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibat sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.

Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa dirubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketiga hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman dan tatapan mata serta gerakan refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak terlalu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.

Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itu pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.

Menikah, Kenapa Takut?

oleh: DR. Amir Faishol Fath

Sayang sekali saya lupa darimana saya ambil tulisan ini. Yang jelas artikel ini saya dapat dari blog seorang kawan yang tidak saya ingat ataupun kenal (one of random articles I read in my random blog-walking activity and eventually ended up in one of my folders in doc. format). Semoga yang ngepost ikhlas saya kutip total tanpa kredit apapun. Artikel ini bagus dan supportif, maka saya repost. Mohon maaf jika terlalu panjang, just to make you read more words today 🙂

“MENIKAH”

Kita hidup di zaman yang mengajarkan pergaulan bebas, menonjolkan aurat, dan mempertontonkan perzinaan. Bila mereka berani kepada Allah dengan melakukan tindakan yang tidak hanya merusak diri, melainkan juga menghancurkan institusi rumah tangga, mengapa kita takut untuk mentaati Allah dengan membangun rumah tangga yang kokoh? Bila kita beralasan ada resiko yang harus dipikul setelah menikah, bukankah perzinaan juga punya segudang resiko? Bahkan resikonya lebih besar. Bukankankah melajang ada juga resikonya?

Hidup, bagaimanapun adalah sebuah resiko. Mati pun resiko. Yang tidak ada resikonya adalah bahwa kita tidak dilahirkan ke dunia. Tetapi kalau kita berpikir bagaimana lari dari resiko, itu pemecahan yang mustahil. Allah tidak pernah mengajarkan kita agar mencari pemecahan yang mustahil. Bila ternyata segala sesuatu ada resikonya, maksiat maupun taat, mengapa kita tidak segera melangkah kepada sikap yang resikonya lebih baik? Sudah barang tentu bahwa resiko pernikahan lebih baik daripada resiko pergaulan bebas (baca: zina). Karenanya Allah mengajarkan pernikahan dan menolak perzinaan.

Saya sering ngobrol, dengan kawaan-kawan yang masih melajang, padahal ia mampu untuk menikah. Setelah saya kejar alasannya, ternyata semua alasan itu tidak berpijak pada fondasi yang kuat: ada yang beralasan untuk mengumpulkan bekal terlebih dahulu, ada yang beralasan untuk mencari ilmu dulu, dan lain sebagainya. Berikut ini kita akan mengulas mengenai mengapa kita harus segera menikah? Sekaligus di celah pembahasan saya akan menjawab atas beberapa alasan yang pernah mereka kemukakan untuk membenarkan sikap.

Menikah itu Fitrah

Allah Taala menegakkan sunnah-Nya di alam ini atas dasar berpasang-pasangan. Wa min kulli syai’in khalaqnaa zaujain, dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan (Adz-Dzariyaat: 49). Ada siang ada malam, ada laki ada perempuan. Masing-masing memerankan fungsinya sesuai dengan tujuan utama yang telah Allah rencanakan. Tidak ada dari sunnah tersebut yang Allah ubah, kapanpun dan di manapun berada. Walan tajida lisunnatillah tabdilla, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnah Allah (Al-Ahzab: 62). Walan tajida lisunnatillah tahwiila, dan kamu tidak akan mendapati perubahan bagi ketetapan kami itu. (Al-Isra: 77)

Dengan melanggar sunnah itu berarti kita telah meletakkan diri pada posisi bahaya. Karena tidak mungkin Allah meletakkan sebuah sunnah tanpa ada kesatuan dan keterkaitan dengan sIstem lainnya yang bekerja secara sempurna secara universal.

Manusia dengan kecanggihan ilmu dan peradabannya yang dicapai, tidak akan pernah mampu menggantikan sunnah ini dengan cara lain yang dikarang otaknya sendiri. Mengapa? Sebab, Allah swt. telah membekali masing-masing manusia dengan fitrah yang sejalan dengan sunnah tersebut. Melanggar sunnah artinya menentang fitrahnya sendiri.

Bila sikap menentang fitrah ini terus-menerus dilakukan, maka yang akan menanggung resikonya adalah manusia itu sendiri. Secara kasat mata, di antara yang paling tampak dari rahasia sunnah berpasang-pasangan ini adalah untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dari masa ke masa sampai titik waktu yang telah Allah tentukan. Bila institusi pernikahan dihilangkan, bisa dipastikan bahwa mansuia telah musnah sejak ratusan abad yang silam.

Mungkin ada yang nyeletuk, tapi kalau hanya untuk mempertahankan keturunan tidak mesti dengan cara menikah. Dengan pergaulan bebas pun bisa. Anda bisa berkata demikian. Tetapi ada sisi lain dari fitrah yang juga Allah berikan kepada masing-masing manusia, yaitu: cinta dan kasih sayang, mawaddah wa rahmah. Kedua sisi fitrah ini tidak akan pernah mungkin tercapai dengan hanya semata pergaulan bebas. Melainkan harus diikat dengan tali yang Allah ajarkan, yaitu pernikahan. Karena itulah Allah memerintahkan agar kita menikah. Sebab itulah yang paling tepat menurut Allah dalam memenuhi tuntutan fitrah tersebut. Tentu tidak ada bimbingan yang lebih sempurna dan membahagiakan lebih dari daripada bimbingan Allah.

Allah berfirman fankihuu, dengan kata perintah. Ini menunjukan pentingnya hakikat pernikahan bagi manusia. Jika membahayakan, tidak mungkin Allah perintahkan. Malah yang Allah larang adalah perzinaan. Walaa taqrabuzzina, dan janganlah kamu mendekati zina (Al-Israa: 32). Ini menegaskan bahwa setiap yang mendekatkan kepada perzinaan adalah haram, apalagi melakukannya. Mengapa? Sebab Allah menginginkan agar manusia hidup bahagia, aman, dan sentosa sesuai dengan fitrahnya.

Mendekati zina dengan cara apapun, adalah proses penggerogotan terhadap fitrah. Dan sudah terbukti bahwa pergaulan bebas telah melahirkan banyak bencana. Tidak saja pada hancurnya harga diri sebagai manusia, melainkan juga hancurnya kemanusiaan itu sendiri. Tidak jarang kasus seorang ibu yang membuang janinnya ke selokan, ke tong sampah, bahkan dengan sengaja membunuhnya, hanya karena merasa malu menggendong anaknya dari hasil zina.

Perhatikan bagaimanan akibat yang harus diterima ketika institusi pernikahan sebagai fitrah diabaikan. Bisa dibayangkan apa akibat yang akan terjadi jika semua manusia melakukan cara yang sama. Ustadz Fuad Shaleh dalam bukunya liman yuridduz zawaj mengatakan, “Orang yang hidup melajang biasanya sering tidak normal: baik cara berpikir, impian, dan sikapnya. Ia mudah terpedaya oleh syetan, lebih dari mereka yang telah menikah.”

Menikah Itu Ibadah

Dalam surat Ar-Rum: 21, Allah menyebutkan pentingnya mempertahankan hakikat pernikahan dengan sederet bukti-bukti kekuasaan-Nya di alam semesta. Ini menunjukkan bahwa dengan menikah kita telah menegakkan satu sisi dari bukti kekusaan Allah swt. Dalam sebuah kesempatan Rasulullah saw. lebih menguatkan makna pernikahan sebagai ibadah, “Bila seorang menikah berarti ia telah melengkapi separuh dari agamanya, maka hendaknya ia bertakwa kepada Allah pada paruh yang tersisa.” (HR. Baihaqi, hadits Hasan)

Belum lagi dari sisi ibadah sosial. Dimana sebelum menikah kita lebih sibuk dengan dirinya, tapi setelah menikah kita bisa saling melengkapi, mendidik istri dan anak. Semua itu merupakan lapangan pahala yang tak terhingga. Bahkan dengan menikah, seseorang akan lebih terjaga moralnya dari hal-hal yang mendekati perzinaan. Alquran menyebut orang yang telah menikah dengan istilah muhshan atau muhshanah (orang yang terbentengi). Istilah ini sangat kuat dan menggambarkan bahwa kepribadian orang yang telah menikah lebih terjaga dari dosa daripada mereka yang belum menikah.

Bila ternyata pernikahan menunjukkan bukti kekuasan Allah, membantu tercapainya sifat takwa. dan menjaga diri dari tindakan amoral, maka tidak bisa dipungkiri bahwa pernikahan merupakan salah satu ibadah yang tidak kalah pahalanya dengan ibadah-ibadah lainnya. Jika ternyata Anda setiap hari bisa menegakkan ibadah shalat, dengan tenang tanpa merasa terbebani, mengapa Anda merasa berat dan selalu menunda untuk menegakkan ibadah pernikahan, wong ini ibadah dan itupun juga ibadah.

Pernikahan dan Penghasilan

Seringkali saya mendapatkan seorang jejaka yang sudah tiba waktu menikah, jika ditanya mengapa tidak menikah, ia menjawab belum mempunyai penghasilan yang cukup. Padahal waktu itu ia sudah bekerja. Bahkan ia mampu membeli motor dan HP. Tidak sedikit dari mereka yang mempunyai mobil. Setiap hari ia harus memengeluarkan biaya yang cukup besar dari penggunakan HP, motor, dan mobil tersebut. Bila setiap orang berpikir demikian apa yang akan terjadi pada kehidupan manusia?

Saya belum pernah menemukan sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw. melarang seorang sahabatnya yang ingin menikah karena tidak punya penghasilan. Bahkan dalam beberapa riwayat yang pernah saya baca, Rasulullah saw. bila didatangi seorang sahabatnya yang ingin menikah, ia tidak menanyakan berapa penghasilan yang diperoleh perbulan, melainkan apa yang ia punya untuk dijadikan mahar. Mungkin ia mempunyai cincin besi? Jika tidak, mungkin ada pakaiannya yang lebih? Jika tidak, malah ada yang hanya diajarkan agar membayar maharnya dengan menghafal sebagian surat Alquran.

Apa yang tergambar dari kenyatan tersebut adalah bahwa Rasulullah saw. tidak ingin menjadikan pernikahan sebagai masalah, melainkan sebagai pemecah persoalan. Bahwa pernikahan bukan sebuah beban, melainkan tuntutan fitrah yang harus dipenuhi. Seperti kebutuhan Anda terhadap makan, manusia juga butuh untuk menikah. Memang ada sebagian ulama yang tidak menikah sampai akhir hayatnya seperti yang terkumpul dalam buku Al-ulamaul uzzab alladziina aatsarul ilma ‘alaz zawaj. Tetapi, itu bukan untuk diikuti semua orang. Itu adalah perkecualian. Sebab, Rasulullah saw. pernah melarang seorang sahabatanya yang ingin hanya beribadah tanpa menikah, lalu menegaskan bahwa ia juga beribadah tetapi ia juga menikah. Di sini jelas sekali bagaimana Rasulullah saw. selalu menuntun kita agar berjalan dengan fitrah yang telah Allah bekalkan tanpa merasakan beban sedikit pun.

Memang masalah penghasilan hampir selalu menghantui setiap para jejaka muda maupun tua dalam memasuki wilayah pernikahan. Sebab yang terbayang bagi mereka ketika menikah adalah keharusan membangun rumah, memiliki kendaraan, mendidik anak, dan seterusnya di mana itu semua menuntut biaya yang tidak sedikit. Tetapi kenyataannya telah terbukti dalam sejarah hidup manusia sejak ratusan tahun yang lalu bahwa banyak dari mereka yang menikah sambil mencari nafkah. Artinya, tidak dengan memapankan diri secara ekonomi terlebih dahulu. Dan ternyata mereka bisa hidup dan beranak-pinak. Dengan demikian kemapanan ekonomi bukan persyaratan utama bagi sesorang untuk memasuki dunia pernikahan.

Mengapa? Sebab, ada pintu-pintu rezeki yang Allah sediakan setelah pernikahan. Artinya, untuk meraih jatah rezki tersebut pintu masuknya menikah dulu. Jika tidak, rezki itu tidak akan cair. Inilah pengertian ayat iyyakunu fuqara yughnihimullahu min fadhlihi wallahu waasi’un aliim, jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha mengetahui (An-Nur: 32). Ini adalah jaminan langsung dari Allah, agar masalah penghasilan tidak dikaitkan dengan pernikahan. Artinya, masalah rezki satu hal dan pernikahan hal yang lain lagi.

Abu Bakar Ash-Shidiq ketika menafsirkan ayat itu berkata, “Taatilah Allah dengan menikah. Allah akan memenuhi janjinya dengan memberimu kekayaan yang cukup.” Al-Qurthubi berkata, “Ini adalah janji Allah untuk memberikan kekayaan bagi mereka yang menikah untuk mencapai ridha Allah, dan menjaga diri dari kemaksiatan.” (lihat Tafsirul Quthubi, Al Jami’ liahkamil Qur’an juz 12 hal. 160, Darul Kutubil Ilmiah, Beirut).

Rasulullah saw. pernah mendorong seorang sahabatnya dengan berkata, “Menikahlah dengan penuh keyakinan kepada Allah dan harapan akan ridhaNya, Allah pasti akan membantu dan memberkahi.” (HR. Thabarni). Dalam hadits lain disebutkan: Tiga hal yang pasti Allah bantu, di antaranya: “Orang menikah untuk menjaga diri dari kemaksiatan.” (HR. Turmudzi dan Nasa’i)

Imam Thawus pernah berkata kepada Ibrahim bin Maysarah, “Menikahlah segera, atau saya akan mengulang perkataan Umar Bin Khattab kepada Abu Zawaid: Tidak ada yang menghalangimu dari pernikahaan kecuali kelemahanmu atau perbuatan maksiat.” (lihat Siyar A’lamun Nubala’ oleh Imam Adz Dzahaby). Ini semua secara makna menguatkan pengertian ayat di atas. Di mana Allah tidak akan pernah membiarkan hamba-Nya yang bertakwa kepada Allah dengan membangun pernikahan.

Persoalannya sekarangan, mengapa banyak orang berkeluarga yang hidup melarat? Kenyataan ini mungkin membuat banyak jejaka berpikir dua kali untuk menikah. Dalam masalah nasib kita tidak bisa mengeneralisir apa yang terjadi pada sebagian orang. Sebab, masing-masing ada garis nasibnya. Kalau itu pertanyaanya, kita juga bisa bertanya: mengapa Anda bertanya demikian? Bagaimana kalau Anda melihat fakta yang lain lagi bahwa banyak orang yang tadinya melarat dan ternyata setelah menikah hidupnya lebih makmur? Dari sini bahwa pernikahan bukan hambatan, dan kemapanan penghasilan bukan sebuah persyaratan utama.

Yang paling penting adalah kesiapan mental dan kesungguhan untuk memikul tanggung jawab tersebut secara maksimal. Saya yakin bahwa setiap perbuatan ada tanggung jawabnya. Berzina pun bukan berarti setelah itu selesai dan bebas tanggungjawab. Melainkan setelah itu ia harus memikul beban berat akibat kemaksiatan dan perzinaan. Kalau tidak harus mengasuh anak zina, ia harus menanggung dosa zina. Keduanya tanggung jawab yang kalau ditimbang-timbang, tidak kalah beratnya dengan tanggung jawab pernikahan.

Bahkan tanggung jawab menikah jauh lebih ringan, karena masing-masing dari suami istri saling melengkapi dan saling menopang. Ditambah lagi bahwa masing-masing ada jatah rezekinya yang Allah sediakan. Tidak jarang seorang suami yang bisa keluar dari kesulitan ekonomi karena jatah rezeki seorang istri. Bahkan ada sebuah rumah tangga yang jatah rezekinya ditopang oleh anaknya. Perhatikan bagaimana keberkahan pernikahan yang tidak hanya saling menopang dalam mentaati Allah, melainkan juga dalam sisi ekonomi.

Pernikahan dan Menuntut Ilmu

Seorang kawan pernah mengatakan, ia ingin mencari ilmu terlebih dahulu, baru setelah itu menikah. Anehnya, ia tidak habis-habis mencari ilmu. Hampir semua universitas ia cicipi. Usianya sudah begitu lanjut. Bila ditanya kapan menikah, ia menjawab: saya belum selesai mencari ilmu.

Ada sebuah pepatah diucapkan para ulama dalam hal mencari ilmu: lau anffaqta kullaha lan tashila illa ilaa ba’dhiha, seandainya kau infakkan semua usiamu –untuk mencari ilmu–, kau tidak akan mendapatkannya kecuali hanya sebagiannya. Dunia ilmu sangat luas. Seumur hidup kita tidak akan pernah mampu menelusuri semua ilmu. Sementara menikah adalah tuntutan fitrah. Karenanya, tidak ada aturan dalam Islam agar kita mencari ilmu dulu baru setelah itu menikah.

Banyak para ulama yang menikah juga mencari ilmu. Benar, hubungan mencari ilmu di sini sangat berkait erat dengan penghasilan. Tetapi banyak sarjana yang telah menyelesaikan program studinya bahkan ada yang sudah doktor atau profesor, tetapi masih juga pengangguran dan belum mendapatkan pekerjaan. Artinya, menyelesaikan periode studi juga bukan jaminan untuk mendapatkan penghasilan. Sementara pernikahan selalu mendesak tanpa semuanya itu. Di dalam Alquran maupun Sunnah, tidak ada tuntunan keharusan menunda pernikahan demi mencari ilmu atau mencari harta. Bahkan, banyak ayat dan hadits berupa panggilan untuk segera menikah, terlepas apakah kita sedang mencari ilmu atau belum mempunyai penghasilan.

Berbagai pengalaman membuktikan bahwa menikah tidak menghalangi seorang dalam mencari ilmu. Banyak sarjana yang berhasil dalam mencari ilmu sambil menikah. Begitu juga banyak yang gagal. Artinya, semua itu tergantung kemauan orangnya. Bila ia menikah dan tetap berkemauan tinggi untuk mencari ilmu, ia akan berhasil. Sebaliknya, jika setelah menikah kemauannya mencari ilmu melemah, ia gagal. Pada intinya, pernikahan adalah bagian dari kehidupan yang harus juga mendapatkan porsinya. Perjuangan seseorang akan lebih bermakna ketika ia berjuang juga menegakkan rumah tungga yang Islami.

Rasulullah saw. telah memberikan contoh yang sangat mengagumkan dalam masalah pernikahan. Beliau menikah dengan sembilan istri. Padahal beliau secara ekonmi bukan seorang raja atau konglomerat. Tetapi semua itu Rasulullah jalani dengan tenang dan tidak membuat tugas-tugas kerasulannya terbengkalai. Suatu indikasi bahwa pernikahan bukan hal yang harus dipermasalahkan, melainkan harus dipenuhi. Artinya, seorang yang cerdas sebenarnya tidak perlu didorong untuk menikah, sebab Allah telah menciptakan gelora fitrah yang luar biasa dalam dirinya. Dan itu tidak bisa dipungkiri. Masing-masing orang lebih tahu dari orang lain mengenai gelora ini. Dan ia sendiri yang menanggung perih dan kegelisahan gelora ini jika ia terus ditahan-tahan.

Untuk memenuhi tuntutan gelora itu, tidak mesti harus selesai study dulu. Itu bisa ia lakukan sambil berjalan. Kalaupun Anda ingin mengambil langkah seperti para ulama yang tidak menikah (uzzab) demi ilmu, silahkan saja. Tetapi apakah kualitas ilmu Anda benar-benar seperti para ulama itu? Jika tidak, Anda telah rugi dua kali: ilmu tidak maksimal, menikah juga tidak. Bila para ulama uzzab karena saking sibuknya dengan ilmu sampai tidak sempat menikah, apakah Anda telah mencapai kesibukan para ulama itu sehingga Anda tidak ada waktu untuk menikah? Dari sini jika benar-benar ingin ikut jejak ulama uzzab, yang diikuti jangan hanya tidak menikahnya, melainkan tingkat pencapaian ilmunya juga. Agar seimbang.

Kesimpulan

Sebenarnya pernikahan bukan masalah. Menikah adalah jenjang yang harus dilalui dalam kondisi apapun dan bagaimanapun. Ia adalah sunnatullah yang tidak mungkin diganti dengan cara apapun. Bila Rasulullah menganjurkan agar berpuasa, itu hanyalah solusi sementara, ketika kondisi memang benar-benar tidak memungkinkan. Tetapi dalam kondisi normal, sebenarnya tidak ada alasan yang bisa dijadikan pijakan untuk menunda pernikahan.

Agar pernikahan menjadi solusi alternatif, mari kita pindah dari pengertian “pernikahan sebagai beban” ke “pernikahan sebagai ibadah”. Seperti kita merasa senang menegakkan shalat saat tiba waktunya dan menjalankan puasa saat tiba Ramadhan, kita juga seharusnya merasa senang memasuki dunia pernikahan saat tiba waktunya dengan tanpa beban. Apapun kondisi ekonomi kita, bila keharusan menikah telah tiba “jalani saja dengan jiwa tawakkal kepada Allah”. Sudah terbukti, orang-orang bisa menikah sambil mencari nafkah. Allah tidak akan pernah membiarkan hambaNya yang berjuang di jalanNya untuk membangun rumah tangga sejati.

Perhatikan mereka yang suka berbuat maksiat atau berzina. Mereka begitu berani mengerjakan itu semua padahal perbuatan itu tidak hanya dibenci banyak manusia, melainkan lebih dari itu dibenci Allah. Bahkan Allah mengancam mereka dengan siksaan yang pedih. Melihat kenyataan ini, seharusnya kita lebih berani berlomba menegakkan pernikahan, untuk mengimbangi mereka. Terlebih Allah menjanjikan kekayaan suatu jaminan yang luar biasa bagi mereka yang bertakwa kepada-Nya dengan membangun pernikahan. Wallahu a’lam bishshawab.