Is that really you?

Kemarin saya ditanya seorang kawan via chat FB, “Mbak itu yang lagi komen2an mesra sama Bunga (bukan nama sebenarnya) siapa ya?”

Saya terdiam, “Hehe…tanya aja langsung sama orangnya mbak” jawab saya singkat.

Saya pikir itu jawaban terbaik yang bisa saya berikan. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya, tapi karena saya tidak mau membicarakan teman saya sendiri. Ya, saya tidak mau membicarakannya. Bukan hanya karena takut mendzaliminya, tapi juga karena saya pun masih tidak percaya bahwa itu benar-benar dia.

Lagi, saya mempertanyakan hak-hak kita di ruang public.

Hal yang berulang-ulang saya katakan: kita punya hak yang dibatasi oleh hak orang lain.

 

datasemen anti-terong

(bahkan judul postingan kami [saya dan si pelaku dalam cerita ini] sama! wah, hebat! isi ceritanya juga mirip deh kayaknya)

Pembicaraan tentang terong itu tidak singkat. Maka sepertinya harus ada dua episode yang ditulis disini. Kami masih saja tidak mengerti dimana letak nikmatnya terong…

Sampai-sampai teman saya ini frustasi sendiri, dia takut jika ada tes ketahanan diri dimana dia diminta bertahan hidup seadanya (sementara yang ada cuma terong) maka dia pasti akan gagal dalam tes itu. Saya masih ingat kutipan SMS-nya:

Program Indonesia Mengajar akan mengkondisikan kita seperti di daerah terpencil yang kita masuki. Dan ketangguhan kita menghadapi medan pastinya akan diukur. Kamu merasa adil gak kalau pengukuran ketangguhan menghadapi medan diukur dari bisa makan terong atau gak? Dunia ini memang gak adil kalau cuma terong instrument pengukurnya.”

Saya tertawa lagi. Ini agak berlebihan. Saya pikir kami bisa lulus kok! Toh yang dinilai bukan hanya satu hal! Kecuali kalo lomba makan terong, maka saya bisa yakin dengan sepenuh jiwa raga bahwa kami memang akan kalah!

Pertanyaan terakhir yang gak kalah mengkhawatirkan,

“Kalau nanti suami kamu suka terong gimana ern?”

Saya terdiam dulu. “Gak masalah ta, aku bisa kok masak terong!” jawab saya yakin.

“Tapi kan kamu gak suka makan terong?”

“Iya, nanti aku makan bumbunya ajah, dia terongnya….hehe ^^”

Terong is Pajangan!

“Kalau di dunia ini makanan yang tersisa tinggal terong dan jengkol, aku pilih mati aja deh, ern!” ujar teman saya siang itu.

Saya tertawa. Tidak habis pikir kenapa dia bisa berucap seperti itu. Mungkin karena dia sangat tidak suka terong dan jengkol. Untuk jengkol saya tidak protes, toh itu makanan yang memang makruh (boleh dimakan tapi tidak dianjurkan…hehe…iyalah, lha wong aromanya dahsyat bgitu masa’ dianjurkan?!). Tapi untuk terong,,,kata orang terong itu enak!

“Hampa banget sih hidup kamu gak pernah ngerasain enaknya terong!” teman saya yang lain (baca: yang suka terong) pernah protes begitu ke saya saat dia tahu saya tidak suka terong.

Sekarang saya menemukan sekutu: orang yang tidak suka terong! Senang sekali rasanya! Saya tidak pernah tahu di dunia ini ada orang lain yang tidak suka terong selain saya (lebai mode on).

“Kenapa gak suka terong ta?” tanya saya, menginterogasi.

“Gak suka aja. Lembek gitu. Gak kebayang rasanya gimana!”

Saya agak kaget. “Jadi kamu belum pernah makan terong betulan ta? Aku emang gak suka tapi at least aku pernah makan terong!” (nada agak bangga…walaupun gak paham dimana letak kebanggaan pernah makan terong!)

“Rasanya gimana ern?”

“Well, mmm…dipermukaannya sih enak…bumbu baladonya itu loh, aku suka! Tapi pas dimakan… yucks… lembek dan hambarrr!” saya agak merinding membayangkan sensasi lembeknya, membayangkan terong yang agak lumer berair di atas piring…ahhh…

“O…jadi rasanya hambar ya? Aneh, kenapa orang suka terong ya?” katanya bingung.

“Orang juga berpikir kita aneh karena kita gak suka terong tau ta! Kata mereka terong itu enaaak!” saya agak kesal karena begitu banyak orang yang tidak mengerti perasaan kami.

Diam sejenak.

“Sebenarnya terong tuh bagus tau ta bentuknya sebelum dimasak. Warnanya aja ungu. Cantik.” Kata saya agak menyesal kenapa terong bisa lembek begitu setelah matang…kontras sekali dengan saat sebelum dimasak. Jika sebelum dimasak saya berani memberi adjective yang berbunyi “Awesome” untuk si terong, maka setelah dimasak adjective-nya akan berubah menjadi “Horrible”.

“Iya. Makanya, MENURUTKU TERONG ITU PAJANGAN BUKAN MAKANAN!!” teman saya berkata penuh kemenangan.

“Hehehe…iya, mungkin memang begitu. Seharusnya terong itu jadi pajangan aja!”

Akhirnya saya dan dia tertawa-tawa, menurut kami kesimpulan anehnya adalah: orang yang suka terong berpotensi memakan pajangan lain yang ada di rumah! So beware of them!  ^^v

Plegmatis…

Segala sesuatu itu selalu dicipatakan berpasangan. Bahkan untuk teman kosan pun sudah ditakdirkan siapa orangnya. Ini tentang saya dan teman sekamar saya. Kadang saya tertawa sendiri membayangkan hari-hari yang kami lewati bersama. Unik.

Saya tahu betul kepribadian teman saya ini. Dia ini tipe plegmatis – melankolis. Dua sifat yang agak kontradiktif, tapi pemenangnya selalu saja sisi plegmatisnya. Dia itu mudah berdamai dengan segala hal, itu sisi positifnya.

Sementara saya sendiri seorang melankolis – koleris. Dua hal yang agak kontradiktif juga, tapi menurutnya saya cukup bisa membuatnya seimbang.

Masalahnya adalah saya sering tidak mengerti jalan pikirannya. Dia juga sering tidak mengerti jalan pikiran saya. Jika saya berpikir semua hal harus direncanakan dan dipastikan keberhasilannya, maka teman saya ini lebih suka membuat semua seperti apa adanya, dalam bahasa saya ‘nrimo’. Bagi saya hal itu kadang menggemaskan, begitu juga bagi dia, mungkin kadang saya ini mengesalkan baginya.

Contoh kecil, teman saya ini hobi sekali menunda pekerjaan. Saya pikir saya juga suka menunda tapi ternyata dia lebih suka lagi. hehe…dia tidak suka bergerak banyak, dia lebih suka menjadi suporter. Padahal saya ingin sekali bisa bergerak bersama dia dalam mengerjakan banyak hal.

See, kepribadian kami memang berbeda sehingga outputnya juga berbeda. Untungnya kami paham kondisi satu sama lain jadi bisa saling memaklumi. Komentar yang paling sering muncul dari mulut saya adalah,

“Kamu kok begitu sih?” atau, “Kamu enggak capek terus-terusan diem?” atau, “Kok kamu sabar banget sih, kan sebenernya kamu bisa melakukan sesuatu?”

dan jawaban yang paling sering dia gunakan adalah,

“Kamu tuh yang begitu, aku nyaman kok dengan kondisi ini.” atau, “Kok kamu gak bisa diem sih?” atau, “Kupikir gak ada gunanya memperjuangkan hal yang aku tau sulit. Orang plegmatis tuh selalu berusaha menghindari konflik.”

Kalau sudah begini saya cuma bisa diam.

“Aku gak ngerti jalan pikiran orang plegmatis.”

Dia juga diam.

“Aku juga gak ngerti jalan pikiran orang koleris.”

Sekarang saya dan dia mengerti kenapa ada banyak pasangan yang cek-cok. Mungkin salah satu penyebabnya adalah perbedaan kepribadian yang tidak diiringi dengan kelapangan dada untuk menerima pasangannya apa adanya. Kami sering tertawa sendiri mengenai hal ini. Sekarang kalau saya melihat dia melakukan hal-hal yang tidak masuk akal bagi saya, saya akan langsung bergumam, “Kamu bener-bener plegmatis ya ternyata,,hee”

Dan biasanya dia akan cemberut kecil kemudian melanjutkan aktivitas plegmatis-nya.

to my roomate: gak keberatan kan ya kamu jadi artis di tulisanku selama beberapa waktu ke depan? hehe

Israfil dan Vuvuzela

Kemarin malam saya itikaf di masjid At-tin. Tidak seperti malam ganjil di tahun-tahun sebelumnya, tahun ini suasananya lumayan sepi. Aneh juga, dulu saya sulit sekali dapat lapak (baca: tempat duduk) enak walaupun sudah datang sebelum maghrib, tetapi kemarin saya dengan mudahnya dapat lapak yang lumayan padahal saya datang ba’da isya. Aneh. Sungguh aneh. Apapun alasannya, saya wajib bersyukur atas kemudahan itu ^^ (Alhamdulillah)

Seperti biasanya juga, itikaf itu selalu menjadi ajang begadang yang paling berkualitas. Mulai dari tilawah, shalat jamaah, qiyamul lail, dengerin ceramah, ketemu teman-teman lama, curhat sampai tidur dan sahur bareng orang yang gak dikenal sudah menjadi agenda rutin saat itikaf.

Kemarin, seperti biasanya. Setelah lelah dengan tilawah dan ceramah, saya duduk diam disamping dua sahabat saya. Mereka sedang meributkan kerjaan malaikat.

“Kira-kira sekarang malaikat israfil lagi ngapain yak?” tanya sahabat-1 saya.

“Lagi nunggu kiamat lah,” kata sahabat-2.

“Apa dia gak bosen ya diem2 aja sampe hari kiamat? Mungkin seharusnya dia bantuin kerjaan malaikat lain biar gak bosen dan mati gaya nunggu kiamat. Kasian kan, kalo malaikat tuh digaji dia pasti gajinya paling kecil karena kerjaannya paling sedikit,”

“Iya ya, sekarang dia ngapain ya?” sahabat-2 mulai terpancing, “Mungkin dia lagi nyetem sangkakala sekarang”

Sepertinya dia berpikir sangkala itu seperti gitar….

“Gawat banget kalo dia penasaran sama bunyi sangkakala, trus ditiup, trus tau-tau kiamat…” saya menimpali, gak lebih waras dari mereka.

“Iya gawat. Jangan sampe dia penasaran sama bunyi sangkakala deh. Tapi aku selalu ngebayangin bunyi sangkakala tuh kayak terompet gede yang dari kerang itu loh, tau kan?” sahabat-1 mempraktekkan cara meniupnya, “Mirip vuvuzela bunyinya” tambahnya mantap, obsesi piala dunia masih ada rupanya.

“Aku ngebayanginnya kayak terompet,” tambah saya,  tiba-tiba membayangkan terompet tahun baru yang cempreng gak karuan…”Terompet besar yang bunyinya bagus,” saya tidak mau mereka membayangkan malaikat meniup terompet tahun baru!

“Semoga malaikat israfil gak sedih ya,” kata saya serius, “Karena pada saat pertama kali dia meniupkan sangkakala semuanya jadi binasa. Bisa dibayangin gak sih, melakukan tugas untuk pertama kalinya dan tiba-tiba semuanya hancur di depan mata…pasti dia mikir ‘jangan-jangan ini gara2 gue’…”

“hahaha…” sahabat-1&2 ngakak.

Beberapa menit kemudian…

“Udah-udah, kok jadi ngomongin malaikat sih?” tegur sahabat-2 setelah dia selesai tertawa2.

“Lah, kan kalo ngomongin orang dosa jadi mending ngomongin malaikat aja…iya gak ern?,” sahabat-1 saya ngaco.

Kami terdiam…agak merasa bersalah sama objek-objek yang kami gunjingkan barusan…

“Intinya malaikat kan gak kayak manusia yang punya emosi dan ketidakpatuhan. Jadi gak akan ada cerita dia penasaran sama sangkakala terus ditiup sebelum waktunya. Gak akan ada cerita dia bosen dan mati gaya nunggu datangnya tugasnya…hihi…emangnya kita, banyak maunya, banyak pengen taunya, banyak anehnya,”

“Astagfirullah, semoga israfil gak marah karena udah diomongin. Gawat kalo dia marah trus dia jadi niup sangkakala karena kesel sama kita,”

Sebuah statement penutup yang membuat kami kembali ke titik nol…

Kan sudah dibilang, malaikat itu bersih dari segala emosi, sayang 🙂

Lotion non-Anti Nyamuk

Saya memang tidak pernah benar-benar ingin tinggal di tempat kost saya yang sekarang karena beberapa alasan. Alhasil saya selalu membawa barang seminim mungkin karena saya tahu saya pasti kembali ke rumah setiap kali ada kesempatan. Awalnya saya malah dengan brutal memasukkan tas saya beserta isinya ke dalam lemari dengan alasan ajaib bahwa hal itu memudahkan saya untuk selalu pulang ke rumah. Ya, saya jadi tidak perlu menata baju ke dalam tas lagi, tinggal ambil tasnya dan saya langsung berangkat pulang. Pragmatis sekali saya ini. Teman sekamar saya pun protes melihat tingkah saya ini dan akhirnya saya terpaksa menata baju-baju saya di lemari…

Teman saya sudah banyak protes karena kelakuan-kelakuan saya yang mungkin menurutnya agak ganjil. Saya tidak punya kotak mandi, tidak bawa handuk yang besar, tidak punya banyak baju di lemari, tidak membawa sisir, dsb. Satu lagi akibat keengganan saya berkemas dengan seksama karena tidak benar-benar ingin kos. Saya tidak membawa lotion. Saat saya membutuhkannya karena merasa udara di kamar terlalu kering, saya bertanya pada teman saya..

Saya : Pip, bawa lotion gak? Minta dong. Lupa bawa nih.

Pip   : Ada tuh di tas. Autan, ambil aja.

Saya : Itu kan lotion anti nyamukkkk…gak ada lotion yang normal?

Pip   : Loh itu bukan lotion ya?

Saya : Mmmm…lotion sih, tapi aku butuh yang bukan autan, bukan anti nyamuk tapi pelembab >_<

Pip   : Wah, aku gak pake lotion yang begitu er. hihi…

Saya pun menelan kepahitan, mempertimbangkan apakah autan juga bisa disamakan dengan lotion lain yang tidak membunuh nyamuk.

Lotion Anti Nyamuk

Jangan-jangan autan lebih fungsional dibanding lotion lain karena bisa menghindarkan kita dari nyamuk. Tapi tetap saja saya ragu memberinya kedudukan yang setara dengan lotion non-anti nyamuk.

Situ Oke?

Nasihat seorang bapak kepada anak lelakinnya: “Kalau cari istri tuh ya, kalau cantik harus dikasih makan, kalau gak cantik juga harus dikasih makan. Jadi ya mending cari yang  cantik aja, “

Itu adalah kutipan dari ucapan ayah pasangan teman saya (nah lo, jangan bingung ya).

“Am I that bad?” itu adalah pertanyaan yang muncul di kepala setiap wanita yang mendengar ayah pasangannya menasihatkan hal itu kepada anak lelakinya. Meskipun konteksnya bercanda. Meskipun si ayah tidak berbicara di depan sang wanita. Meskipun si wanita hanya tahu pernyataan itu lewat mulut anaknya. Saya sadar betul, efek psikologisnya sangat dalam dan panjang. Wanita memang cenderung lebih sensitive menanggapi segala hal tentang dirinya. Apalagi jika judgement statement itu diberikan oleh orang yang memiliki pengaruh dalam hatinya, ungkapan sesederhana apapun akan terasa kompleks jika diolah oleh otak wanita. Jadi wajar saja teman saya merasa buruk setelah mendengar bahwa ayah pasangannya itu bicara seperti itu pada anaknya setelah dia pulang dari rumah pasangannya yang katanya saat dia berkunjung dia memang baru pulang dari pasar sehingga mungkin penampilannya kurang berkesan (bingung baca kalimat sendiri…kenapa kata ganti laki-laki dan perempuan dalam bahasa indonesi tidak jelas begini? Kalimat saya jadi sulit dicerna!).

“You are not that bad. Trust me. I don’t like to say this, but I think you’re nice, “ kata saya menghiburnya.

“Jadi gue gak seburuk itu kan? Meskipun emang gak cantik banget, tapi kok ya…” katanya dengan suara makin menghilang.

“Iya, meskipun gak secantik Cut Tari, tapi lo cantik kok. Beneran!” kata saya akhirnya. Dia tersenyum senang karena akhirnya saya memujinya! Hadeh, gak lagi-lagi deh bikin dia ge-er.

**

Nyatanya ada saja orang yang menjadikan penampilan fisik sebagai pertimbangan utama untuk mencari pasangan. Seperti si bapak tadi. Istrinya memang cantik luar biasa. Tapi apa itu berarti menantunya juga harus secantik istrinya? Toh yang akan menikah dengan si wanita kan anaknya bukan si bapak itu! Saya jadi ikut esmosi mendengar cerita teman saya. Bukan karena teman saya tidak cantik, bukan karena saya juga tidak cantik! Kami cantik! (ngaku-ngaku, udah percaya ajalah)

Ini adalah masalah kedewasaan. Menurut saya si bapak ini belum benar-benar dewasa jika dia mensyaratkan seorang menantu yang seperti itu. Memang sih, itu penilaian subjektif saya. Tapi menurut saya si bapak ini seharusnya melihat lebih jauh, mengenal lebih dalam dan bukannya hanya menilai dari luarnya saja. Toh cantik itu relative, menurut saya teman saya itu cantik. Mungkin bukan cantik seperti yang disukai si bapak ini, tapi ini masalah selera, bung! Saya curiga jangan-jangan si bapak yang katanya orang berpendidikan ini tidak pernah mendengar istilah ‘Don’t judge a book by its cover’. Sungguh kasihan.

Saya tidak menyalahkan orang yang menjadikan pertimbangan fisik sebagai prasyarat utama. Islam adalah agama yang menghargai fitrah manusia. Buktinya hadis dari Abu Hurairah berikut ini:

Wanita itu biasa dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena kemuliaan keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka pilihlah yang beragama, karena kalau tidak niscaya engkau akan merugi”

Yah buat wanita, hadisnya masih berlaku kok. Tinggal diganti aja subjeknya jadi “Laki-laki itu…”

Teman saya yang lain pernah secara serampangan bilang bahwa itu adalah urutan baku dari Rasulullah: paras-harta-keturunan-agama. Dia lupa bahwa hadis itu terdiri dari dua kalimat, dia hanya baca kalimat pertama. Lagipula hadis itu mengungkap kebiasaan, bukan aturan baku. Kalimat kedualah intisarinya.

Yah, sekali lagi, itu adalah hak pribadi tiap orang untuk menentukan seperti apa orang yang ingin dinikahinya. Teman saya yang lain lagi bilang, “Buatlah kriteria untuk menghindari menolak orang yang gak sesuai kriteria”, sungguh nasihat yang bijak. Tapi ya kalau memang dia (entah siapa) hanya bisa hidup dengan orang yang cantik/tampan (terlepas dari seperti apa agama dan sikapnya) yah silahkan saja. Itu hak setiap orang.

Tapi kalau ada tuntunan (hadis diatas), kenapa gak dipake? ^^v

Kamu Seperti Bajing!^^

Hari Minggu, waktu liburan! Tapi bagi sebagian orang hari minggu itu belum tentu berarti liburan. Saya salah satu dari mereka. Teman-teman saya juga. Niat saya ber haha-hihi dengan teman-teman saya minggu kemarin pun kandas ketika saya tahu bahwa mereka sudah punya agenda full sampai malam.

A: JatiAsih (acara DT) – Ciracas (ngajar anak-anak kampung) – Depok (rapat hearing lembaga, *lupa juga saya!)

B: JatiAsih (acara DT) – Depok (siang sampai sore, acara lembaga internal kampus)

C: JatiAsih (acara DT) – Gak tau (nyelawat ke rumah teman tapi rumahnya blm tau dmn krn SMSnya blm dibales) – Depok (acara lembaga internal)

Saya yang gak mau kalah sibuk: JatiAsih (acara DT) – Pasar Baru (survey camcorder) – JCC (nyari FD+modem)

Teman saya tertawa miris, “Iya susah deh mau hah-hihi, hari ini loncat dari satu tempat ke tempat lain, kayak bajing! (tupai – red)”

Saya mengiyakan, dia lebih tupai dari saya!

“Jum’at nanti aku free, kita ke laut yuk atau ke gunung!” tambahnya, berusaha menghibur dirinya sendiri setelah melihat agendanya penuh coretan, dan handphonenya yang (mungkin) penuh reminder.

Saya mengiyakan. Agenda liburan seperti apa ya yang cocok untuk tupai? ^^v

SMS teman saya

Sesuai posting sebelumnya, saya mau nyalin SMS teman saya (tanpa izin, karena kalo izin pasti jadi panjang urusannya karena saya harus bujuk2 dia dulu). Pagi-pagi, dia kirim SMS yang bagus ini. Sepertinya semalam dia baru selesai bertapa ^^

Semangat Pagi!

Pikiran tentang nikah yang kita obrolin kemaren (padahal udah lama-red.) ternyata itu wajar. Kurasa itu cuma bagian dari demamnya wanita yang panik karena liat undangan kawin dari temen. Plus rasa pengen karena liat indahnya pacaran setelah menikah. Setidaknya, itu alasanku. Alasanmu bisa beda lagi. Kemarin aku sedikit berpikir keras, apa mauku dan apa yang bisa, setidaknya, meredakan demam itu. Kupikir aku harus punya target. Dimana aku siap dan gak sembarangan. Bisa memutuskan dengan matang dan punya arah yang jelas.

Kadang saat aku punya pertanyaan aku suka lupa kalo Allah itu mendengar aku. Dan aku cuma bisa meminta sama Dia. Yowes, skarang aku fokus sama target jangka pendek dulu untuk melangkah ke target jangka panjang 🙂

Mba Desi dan Teman Saya

Kemarin saya datang ke undangan walimahannya Mbak Desi dan Mas Helmi. The decoration was stunning and the bride was gorgeous! *hihi…mas helmi – gak disebut ah, saya gak kenal beliau!*

Secara sembrono saya dan teman saya makan cemilan2 unik, mulai dari sup asparagus sampai chicken [lupa] blue, yang sama sekali gak blue! Karena malas ngantri, kami ambil makanan yang berbeda-beda dan karena kami sibuk ngobrol, saya gak sadar bahwa dia nyuapin saya sup asparagus sementara saya nyuapin dia syomai! Alhasil, beberapa orang melirik ke arah kami. Berpikir bahwa kami terlalu mesra! hahaha…apakah ini yang dinamakan Public Display of Affection (PDA)? [let’s talk more about this later!]

Yang membuat saya senyum-senyum adalah ucapan mba Desi. Waktu saya pamit dia memeluk saya, “Cepet nyusul ya!” ucapnya sambil tersenyum. Saya ikut tersenyum. Biasa aja sih sebenernya, tapi entah kenapa rasanya unik aja sebab (benar kata teman saya) setiap datang ke acara walimahan, biasanya kita jadi pengen juga. hihi…

Buktinya adalah SMS ini (dari teman saya yang lain – yang gak ada hubungannya dengan mba Desi).

Pikiran tentang nikah yang kita obrolin kemaren ternyata itu wajar. Kurasa itu cuma bagian dari demamnya wanita yang panik karena liat undangan kawin dari temen. Plus rasa pengen karena ngeliat indahnya pacaran setelah menikah. Setidaknya itu alasanku. Alasanmu bisa beda lagi [read more in the next post…].