GO-JEK, thanks for the bike!

Alkisah suami saya harus berangkat pagi-pagi untuk dinas ke luar kota beberapa hari. Biasanya saya relakan motor menginap di parkiran sekolah demi memudahkan proses berangkat dan pulang suami tercinta. Tapi kali ini saya meminta izin untuk memakai motor tsb selama saya harus mobile (baca: beredar) kemana-mana saat suami jauh di mata. Maklum, saya kapok mondar-mandir dengan dua balita…rempong to the max kalau harus melulu dengan angkot!

Akhirnya diputuskan suami berangkat dengan GO-JEK ke sekolah. Daaan…karena kami berdua sama-sama belum pernah order go-jek, jadilah proses order lebih lama dari perkiraan. Mulai gelisah karena waktu terus berlalu sementara si abang gojek tak kunjung muncul, sampai akhirnya kami pasrah kalau memang harus telat dan suami ditinggal rombongan. Hehe

Di akhir2 masa penantian, si abang gojek pun muncul. Masya Allah rasanya seperti dapat oase di padang pasir (#lebay). Setelah diberikan helm, suami langsung bertanya ke si driver gojek. “Kalau saya yang bawa motornya boleh Mas?”

Saya agak2 ragu kalau ini tidak menyalahi prosedur, tapi ternyata si driver mengiyakan. Saya terbengong-bengong, dan sepertinya si driver menyadari ekspresi saya, “Gak apa2 Bu, kan jadi lebih cepat sampai karena suami Ibu sudah tau rutenya.”

Saya tersenyum mengiyakan.

Ganjil sekali melihat pemandangan itu. Seorang driver gojek duduk manis di kursi penumpang sambil membawa tas besar (milik suami) sementara suami saya mengemudikan motor – dan harus membayar ongkos gojeknya juga 😀

25 menit kemudian, saya melihat statusnya sudah sampai tujuan. Saya pikir itu hoax karena estimasi tercepat 28 menit tanpa bad traffic. Buru-buru saya telpon suami, ternyata betulan sudah sampai.”Kan drivernya pembalap,” kata suami saya sambil lalu.

Fffiuh, semoga si abang gojek itu tak trauma meminjamkan motornya ke penumpang (yang punya jiwa pembalap saat sedang diburu waktu) 😀

credit picture here

Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang

Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perselisihan. Tidak pernah ada. Yang menang, meskipun menang, sedikit banyak pasti telah menyakiti hati lawannya. Apalagi yang kalah, selain menanggung malu, dia juga pasti merasa tidak nyaman karena tidak berhasil mempertahankan argumennya (atau egonya?).

Kamis lalu, Allah menegur saya lewat sebuah peristiwa kecil yang membuat saya tersadar bahwa dalam hidup ini tidak semua kemenangan itu terasa menyenangkan.

Saat itu saya membawa serta si sulung (3y2m) untuk melakukan beberapa kegiatan di bank. Karena nasabah yang ada di CS (yang jumlahnya CUMA 1) belum juga beranjak, saya memutuskan bertransaksi dengan teller terlebih dahulu.

Percayalah, mengantri dengan membawa balita itu bukan perkara yang mudah. Selain punya rasa ingin tahu yang besar, balita juga punya sepasang tangan dan kaki yang entah kenapa tak pernah bisa diam lama, selalu aktif bergerak. Belum lagi memikirkan si bungsu (1y4m) yang saya tinggal di rumah di jam tidur siangnya, makin ingin rasanya segera beranjak keluar antrian.

Singkat kata, setelah sekian lama, nasabah yang ada di CS pun (akhirnya) bangkit dari kursinya. Si mbak CS memanggil nomor 01, nomor yang saya pegang sejak tadi. Saya dengan sigap langsung mengajak si sulung menghampiri CS, tapi dicegah oleh lengkingan seorang ibu trendi…

“Loh mbak kayaknya ini giliran saya deh!” sergahnya tidak senang ke arah saya. Ibu ini sudah berdiri di depan CS juga.

Saya membaca kembali nomor antrian yang saya pegang, bener nomor 01, “Tapi Bu ini saya pegang nomor 01,” kata saya berusaha membuatnya mengerti bahwa saya memang tidak menyela antriannya.

“Tapi kan saya yang duluan antri, tadi mbak lagi di teller kan?”

Dalam hati saya membatin, saat saya ambil nomor antrian ini si ibu belum datang lho.

“Saya nih buru-buru tau mbak, mau jemput anak sekolah!”

Demi mendengarnya bicara dengan nada tak sopan begitu, saya pun tersulut emosi. “Bu, saya juga gak nyantai. Saya ditunggui bayi di rumah!” sergah saya tak mau kalah.

Si ibu kembali duduk sambil menggerutu. Saya memandanginya tak senang. Mbak CS pun menengahi dan meminta kami menunggu Pak Satpam yang bertugas mengatur antrian (si bapak ini sedang ke belakang rupanya).

“Maaf ya bu, urutannya memang mbak ini duluan sebelum ibu.” Jelas pak Satpam yang saya sambut dengan seringai tak kasat mata, si ibu trendi duduk sambil kecewa dan tak mau memandang saya.

Sejenak saya merasa menang. Sungguh. Kemenangan besar.

Lima menit berikutnya, saya justru menyesal.

Menyesal kenapa saya begitu mudah terpancing emosi di depan anak, padahal saya ingin anak saya jadi manusia yang sabar.

Menyesal kenapa si ibu trendi tidak meminta saya dengan baik-baik jika memang dia begitu tergesa…

Ah, Allah…mampukanku banyak bersabar dan bersyukur.

Lima belas menit di CS yang begitu menyiksa. Saya mungkin harus minta maaf, tapi ternyata si ibu trendi sedang sangat sibuk menelpon saat saya melewatinya.

a nice husband is you :D

Saya kadang heran sendiri dengan kelakuan si ayah, kalau lelaki lain suka protes dengan kebiasaan aneh si istri, lha kalo suami saya kok malah mendukung ya? hehehe. Mulai dari kebiasaan menunda pekerjaan rumah sampai jadi impulsive buyer, semuanya dibolehkan. Lha bagaimana ini? Senang? Iya, tapi lucu rasanya 😀

Misalnya, sewaktu saya mengoprek lemari dan menemukan sebuah cetakan kue kering yang diberikan ibu mertua saya saat menikah dulu, saya langsung lapor ke si ayah bahwa saya butuh beli oven supaya cetakan kue tersebut bisa digunakan. Jadilah saya melaporkan penemuan penting itu saat si ayah pulang kerja. Daan tanpa ba-bi-bu.

Ayah: Memangnya berapa budget yang dibutuhkan, bun?

Saya: Kisaran 600-800rb sih sepertinya.

Ayah: Oke, besok sabtu yuk kita beli!

Lha, padahal saya sudah membayangkan akan dicounter dan saya sudah menyiapkan argumen jitu bahwa oven tersebut bisa digunakan untuk membuat snack baby Azzam, tapi nyatanya argumen tersebut tidak diperlukan 😀

Atau saat saya sedang berpikir sesuatu yang bahkan belum saya pertimbangkan, tiba-tiba si ayah akan mendukung ide saya dan jadi lebih bersemangat dari saya. Yang ini kadang bikin saya repot, hehehe. Misalnya saat saya berujar bahwa baby Azzam makin mantap beratnya untuk dibawa jalan-jalan dan mungkin akan lebih mudah jika dia punya sepeda yang bisa didorong dari belakang sehingga dia bisa duduk manis dan saya membawanya jalan-jalan tanpa pegal-pegal, haha. Biasanya ide seperti itu langsung difollow up kurang dari 48 jam!

Ayah: Bun, besok kita cari sepeda yuk!

Saya: Sepeda buat siapa?

Ayah: Lha katanya mau beli sepeda buat Azzam?

Saya: Eh iya sih, tapi setelah dipikir-pikir, Azzam sepertinya ga akan bertahan lama duduk di sepeda dan ujung-ujungnya minta digendong juga. Mungkin belum perlu sepeda sekarang yah…

Ayah: Gak apa-apa kita beli aja supaya bisa dipakai jalan-jalan.

Saya: *garuk-garuk kepala

Atau momen disaat saya sedang sok jadi menteri keuangan yang super bijak sehingga saya gunakan seluruh uang belanja bulanan yang diberikan si ayah untuk menabung! Yak, menabung, SELURUHNYA! Jadilah saya seperti istri yang belum dikasih uang belanja karena setiap akan belanja saya datang dulu ke ayah 😀

Ayah: Uang belanjanya sudah habis bun?

Saya: Belum kok, kemarin ditabung ke bank.

Ayah: Semuanya?

Saya: Iya *sambil pasang muka serius*

Ayah: Kok?

Saya: Iya supaya cepet banyak dan itu, aku pingin beli RD *kali ini sambil senyum lebar :D*

Ayah: Hahaha, terus belanjanya bagaimana?

Saya: Ya begini, minta dulu sama pemilik modal, aku kan manajer ajah 😛

Ayah: Hahaha, iya deh.

See? Lucu kan? Kepercayaannya terhadap saya memang luar biasa. Dalam penilaiannya, apapun keputusan saya, pasti sudah saya pertimbangkan baik-buruknya. Dan menurutnya lagi, saya tidak pernah meminta sesuatu yang tidak penting. Hahaha *GR*, not to mention my request for foods and ice cream ya! Makanya saya selalu dipersilahkan untuk melakukan apapun yang menjadi keinginan saya, karena kami sama-sama tahu bahwa keluarga adalah anugrah dan prioritas, ia adalah tempat kami saling menghargai dan melengkapi, bukan menyalahkan dan menghakimi.

Eits, gak semua diskusi berakhir mulus dan singkat ya. Ada juga diskusi yang agak lebih panjang, misalnya saat saya sedang gandrung belajar reksadana (RD) dan saya bermaksud mengalihkan sedikit asset ke portofolio tersebut. Wajar sih, mungkin karena saya juga yang terlalu buru-buru memutuskan tanpa melibatkan si ayah dalam proses belajar tersebut.

Ayah: Kenapa bukan dialihkan ke LM saja, bun? Itu lebih nyaman rasanya.

Saya: Ayah, never put all your eggs in one basket, itu prinsipnya. Lagipula bingung deh nyimpen LM itu yang nyaman bagaimana.

Ayah: Kamu sudah paham betul itu tentang rd?

Saya: Sudah belajar tapi rasanya akan lebih mudah kalau langsung praktek kan?

Ayah: *tampak ragu memberi jawaban*

Saya: Untuk percobaan gak akan banyak kok yah, tenang aja. Sekarang kan bisa beli dengan 100rb aja.

Ayah: Iya coba sedikit saja dulu, diamati pergerakannya, dan pilih yang syariah ya, ada kan?

Saya: Eh, iya ada kok.

Ayah: Tapi IHSG lagi naik sekarang, berpengaruh gak sama harga rd? Kalau iya, tunggu turun dulu saja.

Saya: Eh iya ya, pengaruh gak ya? *bingung sendiri*

Ayah: *senyum-senyum*

Saya: Iya, nanti belajar lagi dulu :p

Dan sampai sekarang pun saya belum kesampaian beli instrumen ini. Waktu luang belum datang juga 😀

Intinya, wahai para lelaki, berlakulah baik pada istri-istri kalian karena hal tersebut membuat kami merasa begitu berharga! (Lho? Maaf ya, lagi malas membuat kesimpulan yang logis :p)

 

 

 

 

 

 

Grow a day older

See the sunrise

Know it’s time for us to pack up all the past

And find what really lasts

If everything has been written down, so why worry, we say

It’s you and me with a little left of sanity

If life is ever changing, so why worry, we say

It’s still you and I with silly smile as we wave goodbye

And how will it be? Sometimes we just can’t see

A neighbor, a lover, a joker

Or a friend you can count on forever?

How tragic, how happy, how sorry?

For all we know, we’ve come this far not knowing why

So, would it be nice to sit back in silence?

Despite all the wisdom and the fantasies

Having you close to my heart as I say a little grace

I’m thankful for this moment ‘cause

I know that you

Grow a day older and see how this sentimental fool can be

When she tries to write a birthday song

When she thinks so hard to make your day

When she’s getting lost in all her thoughts

When she waits a whole day to say…

I’m thankful for this moment cause I know that I

Grow a day older and see how this sentimental fool can be

When he aches his arms to hold me tight

When he picks up lines to make me laugh

When he’s getting lost in all his calls

When we can’t wait to say: I love you…

 

If everything has been written down, so why worry, we say

It’s you and me with a little left of sanity

 

[Taken from Dee Recto Verso]

Grow up!

A Resume

This is not a typical night, at least that what I think.

This is one silent night in the mid-February, a phase where I stop running to take a little more oxygen to fill my lungs.

At this point, I realize….

I have lost my last grandma this month, just some days ago, and it really makes me feel like I’ve lost my fixed-holiday destination forever.

I came to her funeral, and seeing her face for the last time. Sooner or later, I will go to her place. We all will…

I saw her empty house for the last time. Silence is the one who will fill the place. Silence.

Along my way back, I kept my eyes wide open, trying hard to absorb the whole things before I really leave them behind.

***

I missed the New Year’s Eve, I had more important thing to do than just blowing the trumpet or seeing fireworks exploding above my head: my thesis.

Lately, I choose sleeping better than staying up celebrating something useless.

I’ve finished my thesis, last month, and I’m still in the euforia of celebrating it. OMG!

I celebrated my other birthday this month, instead of making me feel older, I feel much younger! You may say I’m crazy, I don’t care.

I received twenty roses, the nicest gift ever! I love the way they bloom and fall their petals down. So romantic.

I read some novels, my pleasure activities, and I can’t understand why I don’t fall asleep when I read them as I usually do when I read non-fiction books. Hfhf.

I tried to write some things down, like what I’m doing now. It’s absolutely not easy, ya, especially when we are exceeding our limit in everything…

But, at least I tried.

 

 

 

SPG Berbaju Peri

SPG merupakan kepanjangan dari Sales Promotion Girl. Seorang gadis (berarti kalau ibu-ibu gak boleh dong ya? *nyeleneh) yang bertugas mempromosikan barang yang sedang dijual. Tugas utamanya adalah merepresentasikan dan mempresentasikan produk yang dia handle. Jadi secara sederhana tugas SPG adalah membuat (calon) konsumen merasa yakin bahwa produk perusahaannya baik dan patut dibeli dengan cara memberi image yang baik kepada (calon) konsumen dan memberi penjelasan yang dibutuhkan oleh (calon) konsumen. Semisal SPG shampoo maka dia harus punya rambut yang bagus+panjang dan dia bisa menjelaskan keunggulan shampoonya. Meskipun belum tentu juga dia pakai shampoo yang promosikan…hehe. Contoh lain, SPG pakaian muslimah maka dia harus tampil rapi dan menawan dengan pakaian muslim yang dia promosikan. Kalau dia pakai pakaian olahraga itu namanya gak nyambung dan saltum (salah kostum – red) kan?

Ada satu hal yang aneh. Sepertinya masyarakat kita (eh, saya ikut gak ya?) cenderung sepakat bahwa semua SPG harus cantik. Well, nothing wrong with this…memang fitrah manusia untuk menyukai hal-hal yang indah. Masalahnya adalah ketika kecantikan itu disejajarkan dengan keseksian, sementara seksi itu diyakini hanya bisa didapatkan dengan pakaian minim, maka hasilnya adalah sebuah konvensi bahwa yang tidak minim tidak seksi, yang tidak seksi tidak cantik, dan yang tidak cantik tidak menarik. Daaan, karena SPG harus menarik, maka sepertinya semua orang sepakat bahwa SPG harus berpakaian minim! *mengelus perut, saya sedang kena diare!

Di JCC kemarin (Pameran Komputer & Handphone), semua SPG berpakaian minim. Lucu, karena apapun bajunya, rok mini bawahannya! *gaya iklan teh botol. Yang paling aneh, ada sebuah merek handphone yang memajang SPGnya yang bak model majalah itu dengan BAJU PERI! Ya, saya menyebutnya baju peri karena mereka mengingatkan saya pada peri-peri hutan di film PeterPan. Sungguh terlalu, baju mereka topless dan sangaatt minim, warnanya hijau.

Peri PeterPan

Teman saya sampai tidak mau mendekati mereka. Keterlaluan katanya. Padahal dia butuh bertanya tentang harga handphone yang sedang dia cari.

“Gak mau tanya harga handphone-nya? Mungkin aja disini lebih bersaing harganya,” kata saya.

“Gak usah deh,” katanya cepat, menarik saya pergi dari tempat itu.

Rasa penasaran saya tidak bisa dibiarkan begitu saja.

“Yaudah tunggu sini deh, biar aku tanya harganya sama mbak-mbak berbaju peri itu,” saya pergi ke si SPG. Dan setelah beberapa saat…

“Kata mbak-mbak berbaju peri yang disana tipe A harganya 999rb kalau tipe B gak beda sama merek yang di depan,” jelas saya singkat. Teman saya menggeleng, saya tahu dia tidak suka SPG berbaju peri!

Diluar dia bilang ke saya, “Belum pernah aku liat yang seperti itu. Kok pakaiannya begitu sih? Kan kalau begitu gak semua orang mau dan nyaman bertanya…”

Saya setuju, orang yang mau menjaga diri pasti akan sangat menghindari tipe-tipe orang yang berpakaian tidak pas begitu. Harusnya ini jadi pertimbangan produsen, tidak semua orang nyaman dengan wanita yang hampir telanjang!

Tapi sebenernya apa ya yang mau direpresentasikan SPG itu dengan gaya mereka? Berpakaian seminim peri dalam film PeterPan untuk promosi handphone? Saya sungguh tidak bisa menemukan korelasi antara pakaian minim ala peri dengan handphone!

JCC (Just Come and (don’t) Complain)

Acara Pameran Komputer dan Handphone di JCC berakhir kemarin. Karena saya sedang sangat merindukan hadirnya sebuah flashdisk berkapasitas besar dalam kehidupan saya (gaya penceritaan yang (sedikit) berlebihan) sementara teman saya sedang berburu handphone yang bisa dipakai untuk nonton TV (sungguh saya tidak bisa mengerti dimana letak kenikmatan menonton acara TV dengan perangkat sekecil itu, apalagi jika harus menonton film korea non-dubbing…*membayangkan diri saya memegang kaca pembesar untuk membaca subtitle), maka saya dan teman saya memutuskan ke acara pameran itu. Tidak peduli bahwa acara itu sudah memasuki jam-jam tutup, saya tetap memutuskan masuk ke sana, berharap ada diskon besar-besaran sehingga keuangan saya yang sudah mengkhawatirkan bisa terselamatkan dan saya tetap mendapatkan benda yang saya inginkan.

#10 menit pertama

Saya masih semangat. Menerobos kerumunan, berusaha membaca tulisan di setiap stand untuk menemukan barang yang saya cari.

#15 menit kemudian

Saya tidak menemukan satupun stand computer, ada terlalu banyak orang. Bahkan untuk berjalan pun saya kesulitan. Antrian dimana-mana. Tiba-tiba saya teringat kereta ekonomi! Mengerikan.

#20 menit setelahnya

Saya terduduk kelelahan di lorong panjang, dari suasananya sepertinya itu ruang2 istirahat khusus exhibitor. Saya nimbrung tak peduli. Mencari sedikit ruang untuk bernapas. Saya tidak mengerti, sebenarnya berapa banyak penduduk Jakarta sekarang? Sepertinya mereka janjian untuk mengunjungi JCC dalam waktu yang sama! Saya menyerah! Ternyata ketahanan belanja saya tidak sehebat teman2 saya…*akhirnya menyadari, mungkin ini salah satu kelemahan saya.

Lain saya, lain teman saya. Dia menemukan beberapa handphone TV, merek Cina. Harganya benar-benar tidak bisa dipercaya, murah! Bahkan jauh lebih murah dari harga TV plasma yang tidak bisa dipakai untuk nelpon ataupun SMS! Sekedar saran, bagi anak kos yang gak boleh bawa TV tapi boleh bawa handphone, lebih baik kalian beli handphone TV, sungguh multifungsi! Selain bisa dipakai nelpon, bisa SMS, bisa jadi kamera, bisa jadi MP3, bisa jadi TV juga loh!! *promosi. Ibu kos pasti gak keberatan kalian bawa handphone! Walaupun sebenarnya itu buat nonton TV. Jadi tidak aka nada lagi kata ketinggalan berita apalagi infotainment bagi para kosters (sebutan untuk anak kos.*ngasal banget).

Anehnya, walaupun kami menemukan handphone yang dicari, teman saya tidak beli. Malas mengantri. Pasti itu alasan utamanya. Saya tahu, antriannya memang menakjubkan, setidaknya membuat saya sadar bahwa jualan handphone di JCC itu lebih mudah daripada lewat kaskus! *kehilangan alasan logis yang korelatif.

So, at the end we got nothing.

Tapi kami tidak menyesal. Saat akan keluar dari kerumunan manusia yang sedang dibakar semangat belanja itu, saya melihat stand flashdisk…dan harganya tidak berbeda dengan flashdisk yang dijual didekat stasiun UI. Hadeh, sepertinya saya salah prediksi. Teman saya ikut bahagia, karena dia tidak mengantri di stand handphone, dan yakin bahwa harga handphone diluar sana (di toko yang gak perlu ngantri – red) juga sama saja. Jadi buat apa kami ke JCC??

Here I Come

Saya selalu suka perjalanan, tapi tidak perjalanan yang satu itu. Perjalanan yang terasa begitu panjang, lebih panjang dari masa kanak-kanak saya. Perjalanan yang warnanya abu-abu. Perjalanan yang didalamnya saya hanya ingin diam. Itu adalah perjalanan ke makam mbah saya…

Saya merelakannya pergi, sungguh. Tapi, waktu itu beliau berpesan agar saya menemuinya liburan semester ini. Saya mengiyakan. Saya akan menemuinya setelah saya menyelesaikan urusan di kampus, setelah adik saya masuk SMA, setelah saya pulang dari Sawangan, setelah saya farewell dengan teman-teman sekelas  saya, setelah semua beban terangkat dari pundak saya…

Tapi beban yang ini jauh lebih berat. Beliau meninggalkan saya, sebelum saya sempat memenuhi janji saya. Dan saya akan tetap memenuhi janji saya. Meskipun untuk itu artinya saya harus maraton dari Sawangan ke Solo. And I did it…

Saya menemuinya di makam. Here I come, mbah.

“Mbah, maaf erni baru bisa datang sekarang, disini…” bisik saya dalam hati, lebih kepada diri sendiri, batu-batuan, angin, pepohonan, rumput, dan tanah.

Saya tahu saya telah memenuhi janji saya, memenuhi permintaan beliau untuk menemuinya. Meskipun pertemuan kali ini terasa berbeda, sangat berbeda. Karena saya tidak dapat lagi nasihat-nasihat darinya, karena saya tidak lagi bisa menyalami tangannya yang keriput, karena saya tidak menatap wajahnya melainkan tanah yang berbau harum.

Katanya ada yang ingin beliau sampaikan kepada saya liburan ini, dan saya hanya bisa membiarkan angin membawakan pesan itu untuk saya…karena saya terlambat datang.

Selamat jalan, Mbah. Doaku selalu, untukmu.

Sunda Kelapa

Shifting hobi itu wajar-wajar saja, kan? Kalau dulu saya sempat hobi nulis sampai saya berhasil membuat beberapa unfinished stories, sempat juga hobi membaca sampai lupa tidur, kadang juga saya hobi nonton TV sampai TV saya panas berasap (versi lebai), sekarang saya hobi jalan-jalan [hobi yang standar2 aja sebenernya].

Kemarin saya, lagi-lagi, menyusuri Jakarta. Salah satu tempat yang saya singgahi adalah Pelabuhan Sunda Kelapa. Saya agak tidak pintar Geografi sehingga (awalnya) saya menganggap tempat itu sama dengan Tanjung Priuk. Ternyata beda buangett! Selain beda tempat, juga beda fungsi. Jika Tanjung Priuk adalah pelabuhan internasional yang besar dan elit, maka Sunda Kelapa adalah pelabuhan lokal yang tidak kecil dan tidak elit.

Suasana pelabuhan yang gersang dipadu dengan aroma amis yang khas dari kapal-kapal penangkap ikan membuat saya tidak berlama-lama disana. Padahal rasanya ingin juga naik ke salah satu kapal besar disana, melihat-lihat bagian dalamnya, dan merasakan kehidupan manusia-manusia laut yang meneruskan gen nenek moyang saya (katanya kan nenek moyangku seorang pelaut…*memori masa SD). Tapi apa boleh buat, kapal-kapal besar itu tampak sepi…saya tidak mau mengusik penghuninya.

Setelah sampai rumah, saya googling dengan keyword ‘Pelabuhan Sunda Kelapa’. Saya tersenyum, ternyata saya baru saja menginjakkan kaki ditempat yang istimewa. Tempat dimana kota metropolitan ini bermula…

Di Sunda Kelapa-lah bangsa Eropa pertama kali mendarat.

Bangsa Eropa pertama asal Portugis di bawah pimpinan de Alvintiba pertama kali di Sunda Kelapa dengan armada empat buah kapal pada tahun 1513, sekitar dua tahun setelah menaklukkan kota Malaka.

Armada kapal asal Belanda dibawah pimpinan Cornelis de Houtman tiba pertama kali di Sunda Kalapa (Jayakarta) pada 13 November 1596 dengan tujuan yang sama, mencari rempah-rempah.

Dan sekarang, Pelabuhan Sunda Kelapa “merupakan pelabuhan bongkar muat barang, terutama kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal phinisi atau Bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Setiap hari tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk bongkar muat” (Saksono, 2005) – efek bikin proposal, bahkan tulisan blog-pun dikasih end-note!

Saya mau kesana lagi kapan-kapan. Mungkin senja hari, supaya tidak terlalu panas. Dan saya mau merasakan lagi suasana sejarah disana, hiruk-pikuk para pekerja, suara mesin-mesin kapal yang pada akhirnya saya bandingkan dengan besarnya kapal Nabi Nuh (padahal gak tau kapal Nabi Nuh kayak apa), bau amisnya, semilir anginnya, dan air lautnya…karena laut selalu berhasil memikat saya lebih# karena air itu menghidupkan# karena Pelabuhan itu pusat perdagangan, cikal-bakal peradaban.

Sunda Kelapa

P.S.: the images are taken from many sources.

Ekonomis tapi Tragis

Saya belum pernah naik kereta. Sebuah pengakuan memalukan yang nyata. Terdengar aneh memang, tapi itu benar. Saya baru dua kali naik kereta. Pertama, ke Kota dengan KRL dan kedua, ke Bogor, juga dengan KRL. Bagi saya KRL itu bukan kereta. Alasannya adalah karena ia pendek! Saya mau naik kereta yang panjang!!

Berbekal kenekatan dan keingintahuan yang tak terbendung. Saya memutuskan naik kereta ke Jakarta (dari Solo) beberapa waktu lalu.

Kata novel yang pernah saya baca, naik kereta ekonomi itu seru. Kata teman saya, naik kereta ekonomi itu merakyat. Kata sepupu saya, naik kereta ekonomi itu biasa aja. Sementara kata ayah saya dan teman dekat saya, naik kereta ekonomi itu bahaya. Ada lagi yang bilang, kereta ekonomi itu ‘sebaiknya’ tidak dinaiki.

Saya abstain. Membiarkan takdir memilihkan kereta untuk saya. Sisa uang saya 159rb. Kalau saya naik kereta bisnis pun masih cukup untuk sekedar sampai rumah (dengan asumsi saya tidak beli apa-apa selama diperjalanan). Kalaupun harus naik kereta ekonomi, saya tidak keberatan karena saya mau merasakan pengalaman yang berbeda.

Akhirnya saya sampai di stasiun. Stasiun Ceper, Klaten. Ini stasiun kecil. Sekecil stasiun KRL di Kalibata (agak gedean dikit sih!). Dan ternyata tidak ada kereta bisnis (apalagi eksekutif) yang berhenti disini. It means, saya naik kereta ekonomi!

Kereta Bengawan. Itu namanya. Saya senang karena kereta ini benar-benar panjang! Saya tidak bisa melihat ujung-ujungnya ketika ia berhenti di depan saya. Saya merasa seperti anak kecil yang baru diajak ayahnya naik kereta. Berdebar-debar [lebai banget deh, tapi beneran!].

Sayangnya, kereta ini membuat saya berjanji untuk tidak naik kereta ekonomi lagi jika tidak terpaksa. Ya, ekonomis memang tapi sangat tragis…bahkan saya tidak sanggup menceritakannya sekarang. Maybe next time…