Kalah Jadi Abu Menang Jadi Arang

Tidak ada yang menyenangkan dari sebuah perselisihan. Tidak pernah ada. Yang menang, meskipun menang, sedikit banyak pasti telah menyakiti hati lawannya. Apalagi yang kalah, selain menanggung malu, dia juga pasti merasa tidak nyaman karena tidak berhasil mempertahankan argumennya (atau egonya?).

Kamis lalu, Allah menegur saya lewat sebuah peristiwa kecil yang membuat saya tersadar bahwa dalam hidup ini tidak semua kemenangan itu terasa menyenangkan.

Saat itu saya membawa serta si sulung (3y2m) untuk melakukan beberapa kegiatan di bank. Karena nasabah yang ada di CS (yang jumlahnya CUMA 1) belum juga beranjak, saya memutuskan bertransaksi dengan teller terlebih dahulu.

Percayalah, mengantri dengan membawa balita itu bukan perkara yang mudah. Selain punya rasa ingin tahu yang besar, balita juga punya sepasang tangan dan kaki yang entah kenapa tak pernah bisa diam lama, selalu aktif bergerak. Belum lagi memikirkan si bungsu (1y4m) yang saya tinggal di rumah di jam tidur siangnya, makin ingin rasanya segera beranjak keluar antrian.

Singkat kata, setelah sekian lama, nasabah yang ada di CS pun (akhirnya) bangkit dari kursinya. Si mbak CS memanggil nomor 01, nomor yang saya pegang sejak tadi. Saya dengan sigap langsung mengajak si sulung menghampiri CS, tapi dicegah oleh lengkingan seorang ibu trendi…

“Loh mbak kayaknya ini giliran saya deh!” sergahnya tidak senang ke arah saya. Ibu ini sudah berdiri di depan CS juga.

Saya membaca kembali nomor antrian yang saya pegang, bener nomor 01, “Tapi Bu ini saya pegang nomor 01,” kata saya berusaha membuatnya mengerti bahwa saya memang tidak menyela antriannya.

“Tapi kan saya yang duluan antri, tadi mbak lagi di teller kan?”

Dalam hati saya membatin, saat saya ambil nomor antrian ini si ibu belum datang lho.

“Saya nih buru-buru tau mbak, mau jemput anak sekolah!”

Demi mendengarnya bicara dengan nada tak sopan begitu, saya pun tersulut emosi. “Bu, saya juga gak nyantai. Saya ditunggui bayi di rumah!” sergah saya tak mau kalah.

Si ibu kembali duduk sambil menggerutu. Saya memandanginya tak senang. Mbak CS pun menengahi dan meminta kami menunggu Pak Satpam yang bertugas mengatur antrian (si bapak ini sedang ke belakang rupanya).

“Maaf ya bu, urutannya memang mbak ini duluan sebelum ibu.” Jelas pak Satpam yang saya sambut dengan seringai tak kasat mata, si ibu trendi duduk sambil kecewa dan tak mau memandang saya.

Sejenak saya merasa menang. Sungguh. Kemenangan besar.

Lima menit berikutnya, saya justru menyesal.

Menyesal kenapa saya begitu mudah terpancing emosi di depan anak, padahal saya ingin anak saya jadi manusia yang sabar.

Menyesal kenapa si ibu trendi tidak meminta saya dengan baik-baik jika memang dia begitu tergesa…

Ah, Allah…mampukanku banyak bersabar dan bersyukur.

Lima belas menit di CS yang begitu menyiksa. Saya mungkin harus minta maaf, tapi ternyata si ibu trendi sedang sangat sibuk menelpon saat saya melewatinya.