Random

Menjadi motherpreneur seringkali terdengar keren, bisa tetap tinggal di rumah bersama anak-anak namun tetap bisa menghasilkan rupiah untuk kebutuhan pribadi maupun sarana aktualisasi diri.

Nyatanya, segala profesi punya tantangan tersendiri. Seorang motherpreneur adalah seorang yang harus siap berproses panjang, menyempurnakan diri menjadi ibu untuk anak-anaknya, menyempurnakan diri menjadi istri untuk suaminya, memanej waktu untuk mengurus bisnisnya, melakukan komunikasi aktif dengan pelanggan maupun karyawan, meyendiri untuk beribadah dan yang tak kalah penting menekan semua egonya untuk bersenang-senang. Why? Karena waktu 24 jam tak pernah terasa cukup! Please note this very well.

Ketika bisnis sedang ramai, anak-anak cenderung tak terlalu terurus dan sebaliknya saat anak-anak butuh banyak perhatian, di situlah bisnis sepertinya harus dikorbankan. At least itulah yang saya rasakan sebagai pelaku bisnis pemula yang segala-gala banyak saya kerjakan sendiri.

Untuk bisnis online saja kan alur prosesnya lumayan panjang. Mulai dari pesan barang ke supplier, foto produk, upload di sosial media, merespon pertanyaan calon konsumen (yang seringkali berujung ngobrol ngalor ngidul, wkwk), membuatkan invoice, mengemas pesanan, mengirim ke ekspedisi, kemudian upload resi…hiyak, lumayan kan? Belum lagi kalau ada komplain, yang biasanya krn kesalahan kurir, maka siap-siap mengulang proses dari sesi respon pertanyaan 😀

Belum lagi urusan anak yang cari perhatian, rumah yang juga butuh dirapihkan, makanan yang butuh dipanaskan, jemuran yang menunggu dikeringkan, you name it lah semua kerempongan di rumah yang punya lebih dari satu balita. Hihi

Dan ketika si ibu ingin mengandalkan jasa paid promote supaya bisa lebih fokus ke hal lain, maka akan ada tantangan lain lagi ^^

to be continued…

 

 

 

 

 

GO-JEK, thanks for the bike!

Alkisah suami saya harus berangkat pagi-pagi untuk dinas ke luar kota beberapa hari. Biasanya saya relakan motor menginap di parkiran sekolah demi memudahkan proses berangkat dan pulang suami tercinta. Tapi kali ini saya meminta izin untuk memakai motor tsb selama saya harus mobile (baca: beredar) kemana-mana saat suami jauh di mata. Maklum, saya kapok mondar-mandir dengan dua balita…rempong to the max kalau harus melulu dengan angkot!

Akhirnya diputuskan suami berangkat dengan GO-JEK ke sekolah. Daaan…karena kami berdua sama-sama belum pernah order go-jek, jadilah proses order lebih lama dari perkiraan. Mulai gelisah karena waktu terus berlalu sementara si abang gojek tak kunjung muncul, sampai akhirnya kami pasrah kalau memang harus telat dan suami ditinggal rombongan. Hehe

Di akhir2 masa penantian, si abang gojek pun muncul. Masya Allah rasanya seperti dapat oase di padang pasir (#lebay). Setelah diberikan helm, suami langsung bertanya ke si driver gojek. “Kalau saya yang bawa motornya boleh Mas?”

Saya agak2 ragu kalau ini tidak menyalahi prosedur, tapi ternyata si driver mengiyakan. Saya terbengong-bengong, dan sepertinya si driver menyadari ekspresi saya, “Gak apa2 Bu, kan jadi lebih cepat sampai karena suami Ibu sudah tau rutenya.”

Saya tersenyum mengiyakan.

Ganjil sekali melihat pemandangan itu. Seorang driver gojek duduk manis di kursi penumpang sambil membawa tas besar (milik suami) sementara suami saya mengemudikan motor – dan harus membayar ongkos gojeknya juga 😀

25 menit kemudian, saya melihat statusnya sudah sampai tujuan. Saya pikir itu hoax karena estimasi tercepat 28 menit tanpa bad traffic. Buru-buru saya telpon suami, ternyata betulan sudah sampai.”Kan drivernya pembalap,” kata suami saya sambil lalu.

Fffiuh, semoga si abang gojek itu tak trauma meminjamkan motornya ke penumpang (yang punya jiwa pembalap saat sedang diburu waktu) 😀

credit picture here

PMS is Always Killing Me!

Masa-masa terlemah saya adalah saat PMS! Ini sudah terjadi bertahun-tahun sejak saya masih SMA. Entah kenapa ada banyak hal yang terasa menyebalkan saat sedang dilanda PMS. Bahkan suara kucing yang berisik pun bisa sangat mengganggu saya…

Masalahnya sekarang, saya tak lagi bisa hidup sesuka-suka hati. Dulu saat dilanda PMS saya biasanya banyak diam dan mengurangi intensitas bertemu orang lain, model bertapa gitu lah ya. Intinya membuat diri merasa nyaman dan menghindari ‘possible conflicts’. Tapi sekarang saya hidup dengan dua balita fase egosentris yang menuntut kesabaran level tinggi. Dan situasinya semakin sulit saat saya PMS!

Menurut seorang psikolog di salah satu grup emak-emak yang saya ikuti di WhatsApp, sangat wajar jika saat terkena PMS kita menjadi lebih sensitive dan banyak mengalami kesulitan mengatur emosi. Namun jika gejala PMS yang dirasakan cukup berat, ada baiknya konsultasikan dengan dokter untuk diresepkan sejenis obat penyetabil hormon.

Haduh, kok kesannya parah sekali ya kalau sampai harus minum obat. Hiks. Yang saya rasakan memang sejenis “mood swing” yang sangat acak. Jika di hari normal saya biasa saja melihat anak-anak menumpahkan jus melon di atas tas laptop berbulu halus, maka di saat PMS saya bisa kesal setengah jiwa hanya dengan melihat anak-anak bermain dengan pintu. Huffft.

Kadang saya berhasil melewati satu fase PMS tanpa emosi yang ‘lebay’. Tapi kadang saya juga gagal total. Saya harus mulai dari nol lagi untuk menata hati melalui fase PMS dengan dua balita….Jika dulu zaman SMA dan kuliah, berdiam diri bisa cukup berhasil, dan saat punya satu anak saya bisa mencukupkan diri dengan banyak refreshing (walau tetap sambil bawa anak)….mungkin sekarang saya harus coba hal yang beda…tapi apa ya? Yeah, I’ll update the finding later lah ya.

Yang jelas saya selalu sempatkan minta pertolongan Allah. Mungkin kadang saya khilaf, tapi semoga Allah selalu menjaga saya dari perkara yang fatal, mengembalikan saya pada kesadaran yang utuh, memampukan saya menata hati setiap hari, dan memaafkan segala kealpaan saya dalam menjaga amanah-amanahNya…

picture credit from here

picture credit here

Passion

At the end of the movie Serendipity, one of the main characters makes this statement: “The Greeks did not write obituaries. They simply asked, ‘Did he have passion?'”

This quote is inspiring because it suggests that passion is central to the quality of human life. It suggests that we should live with gusto — with excitement and wonder — so that when we pass away, we will rest contented, having employed fully the unique talents with which we were blessed.

This quote is more than simply inspirational. It is a clarion call to those who spend their lives working in jobs they dislike or hate. Every day, too many people spend more than half of their waking hours doing work for which they feel no passion. This statement challenges those people to avoid a work life of doom and gloom. It implicitly admonishes them: “Get out! Don’t waste your life!”

This article makes me have a second thought about my work-life. Do you have passion for the work you are doing now? Well, If this question is for me, then I need some time to think (at least to formulate a good statements to whatever I will say)

Credit for the article:

Kenneth A. Tucker

(http://gmj.gallup.com/content/379/passion-work.aspx)

Unbeliavably Annoying!

Sometimes it’s hard to believe how others can be so annoying. They may not say a single word, but still you feel annoyed. They may sit away from you, but still you feel annoyed. What do you think I can do to those sort of people?

Becoming too sensitive never helps you to overcome your problem, much less your heartache.

Becoming too ignorant won’t even make you a responsible one, at least the one who’s responsible to clear up the situation.

The only thing I do is usually like this one I’m doing now: pouring whatever words every where!

And after that, calling my partner and friends to let them know how annoying those people were!

Sounds childish? Hell, I don’t care!

BRANDED?

Saya sedang malas sekali membeli kebutuhan-kebutuhan hidup saya. Saya kehabisan sepatu, kehabisan pakaian, jilbab, kaos kaki, dan lain-lain (waktu memakan mereka semua >_<). Parahnya saya kehilangan gairah untuk berbelanja. Ya, berbelanja sendirian itu ternyata butuh kemauan ekstra untuk berangkat. Lain dengan belanja bersama teman, tidak ingin pergi-pun bisa jadi berangkat kalau sudah ada yang mengajak.

Saya juga sedang kepikiran beberapa hal terkait barang-barang yang ingin saya beli. Saya tidak pernah punya katalog di kepala saya yang memuat daftar barang-barang bermerek. Buat saya apapun mereknya, yang penting nyaman. Belakangan saya sadar, saya benar-benar tidak banyak tau merek-merek barang. Yah, siapa peduli juga? Kalau saya tidak kenal, artinya merek itu kurang keren! Hehe.

Anehnya, ada sebagian orang yang suka sekali memperhatikan merek. Seakan mereka menghargai orang dari merek yang dipakai. Saya kadang ngeri sendiri dengan tipe orang seperti ini karena rasanya mereka bisa menilai saya dari sepatu yang saya pakai atau dari tas yang saya pakai. Ini mengerikan. Seakan mereka akan membuat klasifikasi manusia berdasarkan apa yang dipakai orang tersebut dan saya tentunya akan masuk ke dalam klasifikasi kelas bawah karena saya tidak kenal barang bermerek dan lebih parah, saya tidak terlalu suka memakai barang bermerek.

Ya, saya merasa risih dengan benda-benda bermerek yang terlalu mahal. Rasanya bersalah sekali saya jika harus memakai benda-benda seperti itu. Kenapa?

  •  Ada benda lain yang lebih murah dengan fungsi yang sama dan model yang tidak buruk
  •  Sisa uangnya bisa digunakan untuk membeli keperluan yang lain atau kalau gak ada kebutuhan lain yang penting, bisa diamalkan 😉
  • Saya tidak suka dinilai dari apa yang saya pakai atau apa yang saya miliki, saya lebih suka dinilai dari apa yang saya kerjakan dan manfaat apa yang mampu saya berikan

Mungkin ini terdengar seperti pembelaan diri, tapi saya tidak mengerti kenapa merek jadi begitu penting bagi sebagian orang.  Apa karena merek itu memberikan prestise dan mewakili status sosial? Ah, mulianya pemilik i-pad!

Sekali lagi harus saya katakan, hidup itu penuh dengan kegiatan memilih. Memilih merek juga termasuk. Tidak perlu saling menyalahkan atau membela diri, kita semua punya alasan masing-masing untuk mendukung pilihan kita. Yang jelas, jangan sampai berlebihan dalam berlaku karena semua akan dipertanggung jawabkan nantinya. Gak lucu juga kan kalau nanti di yaumul akhir ketika ditanya oleh malaikat “Kamu gunakan untuk apa hartamu di dunia?”. Lalu dijawab dengan “Saya gunakan harta saya untuk memberli tas Hermes, sepatu Fladeo ‘n Stuart Weitzman, dan parfum Caron’s Poivre!”

Nah. Itu berlebihan. Hehe.

Jika saya adalah apa yang saya miliki. Maka siapakah saya ketika saya tidak memiliki apa-apa lagi?” [Oprah]

Excuses!

Rasanya saya sudah lama sekali mengabaikan blog ini. Bukan karena bosan, bukan juga karena tidak punya tulisan, tapi lebih karena tidak punya waktu 😀 (alasan klasik yang sebenarnya saya benci sekali). Oke, saya memang mengerjakan tulisan lain yang lebih penting bagi hidup saya, skripsi. Nah, makanya saya suka lupa kalo blog ini juga harus diisi dengan tulisan dan bahwa saya harus meluangkan waktu saya yang sebenarnya sama saja dengan waktu yang dimiliki Presiden di seluruh dunia (24jam-red) untuk melakukan tugas-tugas saya (sepertinya redundant skali kalimat ini!). Intinya, apapun yang saya kerjakan harusnya tidak menjadikan halangan bagi saya untuk melakukan hal-hal yang memang sudah saya plot (termasuk mengisi blog) dalam agenda saya. Ok. Ini excuse number 1: saya tidak punya sekretaris pribadi seperti presiden yang bisa mejadwal kegiatan2 saya! 😀

Excuse selanjutnya adalah, kadang saya ingin menulis sesuatu yang lebih berisi. Lebih memberi makanan otak, kalau kata teman saya. Tapi sayangnya buku yang saya baca belakangan ini selalu saja seputar “Reserch Design” dan “Curriculum Planning”. Great. Apa sekalian saja saya copas skripsi saya di blog ini? Grrr… Intinya, saya harus meluangkan waktu lebih untuk membaca buku lain yang lebih menutrisi otak selain kedua jenis buku itu untuk dijadikan bahan pembicaraan di blog ini. oke. Jadi excuse number 2: saya terlalu cinta dengan bahasan mengenai kurikulum dan research design (ternyata hal itu kurang berdampak baik bagi perkembangan tulisan di blog ini).

So, do I have a concrete solution upon this matter? Sure, I do!

First, I need a secretary (well, I know I can’t afford such a brilliant yet charming secretary but at least I can afford myself to be my own brilliant and charming secretary)

Second, I can’t abruptly stop reading those kinda books because I’m still doing my thesis. Even, I will read more and more books on the same field, hehe (one thing for sure, I will add many more types of books on my reading catalogue).

Ok. Hope these excuses help me explain the reasons to those who kept asking why I stopped writing (PD banget, siapa juga yang nanyain?). And hopefully, this will become a new starting point for me (and also for you) to always commit to what we have started ^^


Let’s keep writing and inspiring the world!

 

 

Is that really you?

Kemarin saya ditanya seorang kawan via chat FB, “Mbak itu yang lagi komen2an mesra sama Bunga (bukan nama sebenarnya) siapa ya?”

Saya terdiam, “Hehe…tanya aja langsung sama orangnya mbak” jawab saya singkat.

Saya pikir itu jawaban terbaik yang bisa saya berikan. Bukan karena saya tidak tahu jawabannya, tapi karena saya tidak mau membicarakan teman saya sendiri. Ya, saya tidak mau membicarakannya. Bukan hanya karena takut mendzaliminya, tapi juga karena saya pun masih tidak percaya bahwa itu benar-benar dia.

Lagi, saya mempertanyakan hak-hak kita di ruang public.

Hal yang berulang-ulang saya katakan: kita punya hak yang dibatasi oleh hak orang lain.