Parenting in a glance!

Memenuhi hutang janji saya pada seorang kawan beberapa waktu lalu maka terpaksalah (duh, kok terpaksa) saya menuliskan ini di sini. Iya di sini, karena bingung juga mau nulis dimana. Di WhatsApp malas nulis panjang2, di FB kok ya gak sreg, di twitter jelas gak muat. Yeah, Micro blogging doesn’t suit me! *gaya, padahal nulis cuma setahun sekali!

Sebenarnya teman saya ini cuma ingin dengar cerita saya mendidik anak. Sudah. Lha tapi saya bingung harus bagaimana memulai dan mengakhirinya. Pasalnya teman saya ini belum beranak (belum punya anak), huehue, semoga segera ya neng! Untuk saya pribadi, dengan siapa saya bicara akan sangat menentukan apa yang saya bicarakan. Coba bayangkan saya ngoceh tentang sulitnya membuat resep pempek yang praktis ke suami, nyambungkah? Bisa tapi sulit.

Jadi mari kita bicara hal-hal yang mendasar dulu yak!

Pertama, parenting is an art! Ini yang selalu saya tekankan ke diri sendiri dan ke suami tentunya. Tiap keluarga akan memiliki gaya pengasuhan yang berbeda-beda. Pun tidak boleh membandingkan keluarga yang satu dengan yang lain. Sesuatu yang dianggap penting oleh satu keluarga belum tentu penting untuk keluarga lain. So, never compare (to much) about parenting style! Yang terpenting itu outputnya. Mau pilih gaya pengasuhan seperti apapun, jika itu bisa menjadikan ortu dan anak berkembang ke arah yang lebih baik, why not?

Kedua, harus punya visi dan misi. Ingat ya, HARUS! Itu artinya wajib dan tidak bisa ditawar-tawar. Lha mosok punya anak gak tau mau dibawa kemana. Kan tanggung jawab atas anak itu terus dibawa sampai mati. Pun visi misi ini yang akan mempermudah kita membuat “lesson plan” untuk si anak. Sebagai muslim tentu visi yang dibentuk bukan hanya terkait urusan dunia saja, tapi lebih ke akhirat. Urusan duniawi itu Insha Allah mudah dibentuk, sementara yang berat itu menanamkan keimanan, akhlak dan adab sedari dini. PR besarnya adalah, bagaimana supaya anak-anak kita bisa tetap istiqomah berIslam dengan kaffah sepeninggal kita nanti….

Ketiga, pilih metode pendidikan yang baik. Ini sudah masuk ke tataran praktis ya. Awal punya anak dulu saya rajin ikuti kultwit parenting atau masuk forum emak-emak tentang parenting. Sekarang saya batasi karena gak punya waktu sebanyak dulu dan kadang bikin bingung juga, hehehe. Saya merasa lebih baik mengikuti metode pendidikan yang sudah terbukti ampuh mencetak generasi-generasi salafus shaleh. Iya, sekarang saya sedang berusaha menuntaskan buku Tarbiyatul Aulad fil Islam (Pendidikan Anak dalam Islam) dan saya merasa lebih nyaman karena jadi punya landasan shahih dalam mengarahkan anak-anak, Insha Allah.

Keempat, selalu mohon petunjuk dan pertolongan Allah šŸ™‚

Kelima, never stop learning!

PS: yang mau lihat bukunya boleh intip di IG @bukuanakhebat atau disini. (iklan terselubung, wkwkwk)

untuk membantu para ortu mendidik anaknya.

Badai GTM, Cepatlah Berlalu!

Gerakan Tutup Mulut (GTM) memang selalu jadi mosnter buat para ibu yang punya bayi dan balita. Hffff….setelah diterpa badai GTM untuk entah berapa lama, akhirnya saya ngoprek lagi milis kece MPASI Rumahan (niat banget nyari temen senasib biar bisa curcol #eh). Setelahnya, lumayan bisa menambah stok sabar dan kasih mood booster buat bikinin menu baru dan ‘berjibaku’ nyuapin baby Azzam :). Satu quote keren dari mama kece disana adalah “ada masanya anak susah makan, dan (akan) ada masanya anak hobi makan” :D. Alhamdulillah, sekarang jadi lebih santai. Bayangin masa-masa baby Azzam hobi makan (someday in the future), hehehe.

Kalau sudah begini pasti terbayang susahnya orang tua kita dulu. Saya masih beruntung hidup di zaman yang well-connected, mudah terhubung dengan berbagai sumber informasi, bisa cari temen senasib disana-sini via milis, bisa cari menu bayi yang unik dari seluruh web di dunia, punya alat MPASI kumplit (walau kadang males makenya, haha). Lha ibu saya? Pasti stress juga ngadepin saya yang baru bisa dan suka makan menjelang SMP! *tepokjidat. Semoga baby Azzam enggak se food-jag saya. Amin.

Kalau saya buat statistik kasar (data dari milis), maka semua anak pasti alami fase GTM dengan berbagai gaya, mulai dari mulut dikunci rapat saat lihat makanan, makanan diemut, makanan dilepeh, sampai makanan ditangisin :D. Semuanya sama tinggi prosentasenya karena semua fase itu silih berganti datang ke acara makan bayi-bayi kita. Buat yang menuju MPASI, siapkan diri dan besarkan hati ya! Kalau si baby GTM, jangan galau, you are not alone!

Baby Azzam juga kadang (eh sering, ding) ikut aksi GTM, mulai dari tutup mulut saat sendok mendekat, sembur-sembur makanan (kalau di dunia per-MPASI-an ini disebut aksi SEMBUR MAKANAN), dan belakangan nih lagi hobi lepeh-lepeh makanan.

Pusing? Jelas. Sedih? Pasti. Lha wong sudah bikinin makanan susah2 tapi tetap ditolak, apa rasanya coba? Untungnya saya belum sampai pada fase nangis-nangis di pojokkan dapur sambil garuk-garuk lantai pake sutil *lebay. Tapi bukan ibu namanya kalau gampang nyerah. Saya masih coba ini-itu, semoga badai GTM ini cepat berlalu. Satu yang pasti, saya harus selalu bersyukur karena walaupun porsi makannya seiprit, somehow pertumbuhan baby Azzam OK. He’s just in the right track! Sesuatu yang selalu saya syukuri berkali-kali šŸ˜€

Yak, saatnya berburu menu2 imut lainnya. Tetap semangat semua! ^^v

gtmgambar dari sini

That’s Silly!

Kalangan intelektual Arab, misionaris, feminis Eropa yang berniat baik, serta pejabat pemerintah Inggris, kendati banyak berselisih pandang dalam masyarakatnya sendiri, sepakat dalam pandangan mereka mengenai apa yang dibutuhkan para Muslimah: dibebaskan dari cara hidup yang terbelakang menuju cara hidup yang maju ala Eropa. Membuang jilbab adalah langkah pertama yang penting (Esposito dan Mogahed, 2007, hal.142).

Apakah perasaan Anda sama dengan saya saat membaca tulisan itu? Saya bahkan langsung menarik highlighter (bahasa keren dari Stabilo) dan menulis besar-besar di samping paragraph tersebut: SILLY!

Hal ini sangat menyedihkan bagi saya. Orang yang bahkan tidak tahu apa-apa mau bertindak sok tahu dan sok jadi pahlawan dengan cara membebaskan Muslimah dari hal yang sebenarnya mereka bangga memakainya??! Tidak ada yang merasa butuh dibebaskan, tidak ada! Setidaknya saya tidak pernah merasa seperti itu dan sepengetahuan saya, teman Muslimah saya yang lain pun tidak ada yang merasa seperti itu! (Mohon koreksi jika saya salah, jika saya melakukan overgeneralization yang berlebihan)

Mengubah perempuan adalah perlu, kata Amin ā€œBapak Feminisme Arabā€ dalam bukunya The Liberation of Women yang terbit tahun 1899, agar masyarakat Muslim membuang cara hidup yang terbelakang dan mengikuti jejak Barat menuju keberhasilan dan peradaban. Jilbab adalah ciri kentara dari keterbelakangan.

Saya semakin geleng-geleng kepala. Tidak tahu harus berkomentar apa lagi. Disini jelas bahwa ada pihak-pihak, bahkan dari kalangan dunia muslim sendiri, yang sudah dipenuhi kebencian dan ingin dengan sepenuh jiwa dan raga mengubah tatanan masyarakat dan kedudukan sosial wanita dalam masyarakat muslim. Alih-alih mengganti sistem sosial dan norma dengan sesuatu yang lebih tinggi nilainya dari nilai Islam (jika memang ada), dia malah ingin membuat sistem nilai yang sama dengan sistem nilai masyarakat Barat. Sakit hati saya! Merendahkan sekali dia! Siapa yang mau dibawa pada status kultural yang begitu rendah? Bukankah di Barat perempuan hanyalah objek pemuas hasrat laki-laki? Bukankah di Barat daya tarik seksualitas adalah sesuatu yang sangat diagung-agungkan? Apakah kebebasan yang dimaksud adalah bebas berpakaianĀ  minim di jalan-jalan kota? Saya tidak merasa perlu melakukan hal itu untuk bisa merasa bebas dan berharga!

Saya sepakat dengan responden wanita dari Malaysia yang diwawancarai dalam survey yang dilakukan Gallup. Dia mengatakan bahwa dia mrasa kasihan terhadap perempuan-perempuan Barat karena mereka tidak menyayangi diri mereka sendiri dan merasa harus memuaskan hasrat seksual laki-laki (dengan berpakaian merangsang). Jejak pendapat lain di Timur Tengah dan Asia juga memperlihatkan bahwa mayoritas muslim di Mesir, Yordania, dan Pakistan tidak percaya bahwa dalam masyarakat Barat perempuan dihargai (Pew Global Attitudes Project, 2006). Data tersebut tidak mendukung persepsi yang terus saja banyak dipegang di Barat bahwa perempuan Muslim sudah tak sabar lagi ingin dibebaskan dari budaya mereka dan mengadopsi gaya hidup Barat (Esposito dan Mogahed, 2007, hal.144).

Aneh sekali persepsi merekaā€¦ckckck.

Sebenarnya, anggapan bahwa status perempuan inferior dalam Islam terus dipakai sebagai pembenaran campur tangan Barat secara kultural dan kadang-kadang politik (ibid.,hal.140).

Jadi jelas bahwa itu adalah hal yang memang sengaja di blow up oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk terus melakukan intervensi kepada dunia muslim.

**

Rasanya ganjil sekali membicarakan hal ini di tempat dimana saya biasa bercerita gak karuan tentang segala hal ajaib (dan tidak terlalu serius) yang mengelilingi hidup saya. Entah kenapa saya merasa perlu berbagi tentang hal ini, setidaknya supaya saya yakin bahwa saya telah memberitahu beberapa orang bahwa banyak hal aneh di dunia ini yang kadang tidak mampu kita jangkau dengan nalar, hal aneh itu bisa saja menguntungkan tapi celakanya lebih sering merugikan. Kita tidak bisa berpura-pura tidak terjadi apa-apa karena kita adalah bagian dari masyarakat dunia. Dan kita hidup di negara dengan penduduk muslim terbanyak di dunia.

Pesan saya, untuk menutup tulisan ini: ā€œIslam itu sederhana dan meninggikan kedudukan perempuanā€ (Souad Saleh, professor of Al-Ahzar University, Cairo)

 

 

Source:

Esposito, John L & Dalia Mogahed. 2007. Who Speaks for Islam?. New York: Gallup. Inc.

Prinsip Maturitas

Kedewasaan adalah hal yang terdengar begitu menyenangkan. Saya ingat dulu saat saya masih di usia belasan saya selalu berharap saya cepat dewasa. Dalam pandangan saya, menjadi dewasa itu membanggakan. Orang dewasa terlihat kuat, pintar, dan independen. Saya sungguh tidak tahu bahwa semua itu hanya refleksi yang saya anggap ada pada diri orang dewasa. Nyatanya tidak banyak orang dewasa yang seperti itu. Yang banyak saya temui justru orang dewasa yang perilakunya masih seperti anak-anak. Mungkin termasuk diri saya sendiri. Saya sering bertanya-tanya, apakah saya sudah bisa dikatakan dewasa? Seperti apa sebenarnya orang dewasa itu? Apakah dewasa berarti tidak pernah menangis? Atau tidak pernah nonton Spongebob? Atau jangan-jangan dewasa berarti tidak pernah makan choki-choki? Well, saya jadi merasa tidak dewasa!

Mungkin ada yang pernah dengarĀ  tentang prinsip maturitas. MenurutĀ  dr. Muadz, Sp.KJ, seseorang bisa disebut dewasa atau matang kalau :

  1. Berpegang pada reality principles
  2. Independent
  3. Correct and correctable
  4. Understand and understable

Kata sahabat saya yang belakangan ini sedang mendalami schizophrenia (emang iya? Pokoknya dia tertarik masalah ini deh!): ā€œPada dasarnya, setiap orang, pada saat mengalami tekanan/masalah/stress, akan mengalami regresi (kemunduran) pada satu atau beberapa sisi maturitasnya. Entah itu tiba ā€“ tiba menjadi tidak mau mengerti orang lain atau keadaan, tidak mau meluruskan kesalahan orang lain atau tidak mau disalahkan (dengan kata lain tidak mau diluruskan), atau tiba ā€“ tiba menjadi sangat bergantung pada seseorang, dan pada tingkat yang paling parah tidak lagi bisa bertahan dalam reality principles (mengalami gangguan daya nilai realitas).ā€

Maka apakah kita telah menjadi orang yang bisa dimengerti dan mau mengerti orang lain?

Apakah kita telah menjadi orang yang mau mengakui kesalahan jika salah dan mau diluruskan?

Dan apakah kita bisa hidup tanpa harus banyak bergantung pada orang lain? Apakah kita telah punya kepercayaan diri yang cukup untuk mengerti bahwa kita cukup mampu melakukan banyak hal tanpa harus menunggu komando orang lain?

Dan yang terpenting, apakah kita memiliki reality principle yang benar? Apakah kebenaran dan keyakinan yang kita percayai adalah kebenaran yang bisa memang benar dan bukan yang kita ada-adakan?

Jika semua jawaban atas pertanyaan di atas adalah positif, maka (Insya Allah) kita bisa dikatakan dewasa berdasarkan prinsip maturitas di atas. Jika belum, maka ya itu pilihan, apakah kita mau berproses menjadi dewasa atau tetap bertahan menjadi anak-anak dengan fisik yang tidak lagi imut!

Ya, pada akhirnya itu hanya satu teori. Saya kadang suka sekali membela diri dengan banyak alasan. Salah satu pembelaan diri saya untuk masalah yang satu ini adalah: ā€œManusia punya beragam dimensi. Ada dimensi biologis, psikis, intelegensi, sosial, dan sebagainya. Agaknya setiap dimensi itu tidak tumbuh secara bersamaan. Mungkin saja kita dewasa pada sisi yang satu tapi belum pada sisi yang lain. Itu tidak menjadikan kita tidak dewasa, hanya belum sepenuhnya dewasa.ā€

^^v

Dan karena kedewasaan adalah sebuah proses, maka bagi saya ia adalah proses yang tidak pernah berhenti.

Pesan untuk Kita

Suatu hari seorang bapak tua hendak menumpang bus. Pada saat ia menginjakkankakinya ke tangga, salah satu sepatunya terlepas dan jatuh ke jalan.Ā Lalu pintu tertutup dan bus mulai bergerak, sehingga ia tidak bisa memungutĀ sepatu yang terlepas tadi.

Lalu si bapak tua itu dengan tenang melepas sepatunya yang sebelah dan
melemparkannya keluar jendela.

Seorang pemuda yang duduk dalam bus melihat kejadian itu, dan bertanyaĀ kepada si bapak tua, “Aku memperhatikan apa yang Anda lakukan Pak.Ā Mengapa Anda melempakan sepatu Anda yang sebelah juga ?”

Si bapak tuaĀ menjawab, “Supaya siapapun yang menemukan sepatuku bisa memanfaatkannya.”

Kecap Inggris, Oh!

Ketidaktahuan lelaki tentang hiasan-hiasan dapur memang sangat harus dimaklumi. Kadang ketidaktahuan itu sebaiknya direduksi dengan cara bertanya. Ya, seperti kata pepatah “Malu bertanya, gak sampai-sampai” (versi saya!). Ini tentang ayah saya. Beliau bukan laki-laki yang buta urusan dapur. Itu dalam pandangan saya. Tentu saja itu bukan penilaian subjektif karena buktinya ayah saya bisa membedakan jahe dengan kencur, bisa membuat telur goreng, dan bahkan tongseng ajaib! (kadang rasanya memang ajaib, tapi saya menghargainya…mudah saja, tinggal berakting menyukai apapun yang ayah buat..apa susahnya? hehe…*kelakauan anak baik)

Beberapa hari lalu adik saya bercerita. Ayah saya memakan kecap Inggris! Saya heran, kok bisa?? Ternyata, karena kemiripan kemasan/botol, ayah saya dengan PD-nya mencampur si kecap inggris ke dalam air jeruk nipis untuk mengobati batuknya. Hasilnya, batuknya gak jadi berkurang, kepedesan iya. Ternyata kecap inggris tidak bisa dijadikan obat batuk! Mungkin itu hikmah tersembunyi dari kejadian waktu itu…

“Lain kali nanya dulu yah kalu gak tau,” adik saya geli.

“Salah siapa botolnya sama!” ayah saya membela diri.

Saya tak bisa menahan tawa, salah siapa botolnya sama? Bukan salah saya pastinya! hihi…Dad, you’re rocks!

let’s sing!

berawal dari sebuah kejenuhan yang dimodifikasi dengan kreativitas ala anak SMA…

kejenuhan belajar yang dialami guru dan murid memang selalu sukses mematikan gaya dan imajinasi. jika sudah begini tentu saja pelariannya adalah tidur atau nyanyi!

karena posisiku saat itu adalah sebagai guru dari seorang anak SMA yang hobinya tidur, maka kuusulkan untuk bernyanyi saja demi mencairkan suasana…entah kenapa tidur terdengar tidak akademis untukku saat itu!

setelah sedikit berdiskusi tentang lagu apa yang akan kami nyanyikan, tiba2 muncullah sebuah request untuk menyanyikan lagu I’m Yours-nya Jason Miraz…

I wasn’t ready at all! I mean, that song is a bit fast and complicated. I don’t even remember the whole lyrics!

but, amazingly we did it great…some missing lyrics didn’t bother us at all. we sang and sang and laughed – because we made our own lyrics! wow, it’s definetely amazing!

I promised to give the “true” lyric nextweek, so here I am: searching for the lyric and the video – something which i’ve already had, actually!

cuma ingin share aja di sini,,

just enjoy this one of my fave songs of the month šŸ™‚

if you want the lyric, just click here.